Rabu, 18 Juni 2008

tugas klaster industri (industri rotan di kabupaten cirbon)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsekuensi logis dari pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini adalah berhadapannya seluruh daerah di wilayah nasional dengan tingkat persaingan yang semakin tajam secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa , baik di pasar domestik maupun internasional. Upaya - upaya untuk meningkatkan kualitas potensi unggulan daerah, termasuk sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia khususnya, adalah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda tunda lagi pelaksanaannya, dan memerlukan sumber daya yang sangat besar dalam kondisi keterbatasan yang dihadapi dewasa ini. Pendekatan pokok utama dalam mengatasi tantangan tersebut adalah melalui pelaksanaan percepatan pengembangan wilayah dengan mengutamakan peningkatan daya saing sebagai dasar pertumbuhan daerah.
Saat ini konsep klaster sebagai suatu pendekatan kebijakan baru dalam pengembangan wilayah telah semakin luas digunakan di berbagai negara baik negara maju maupun negara berkembang, terutama dikaitkan dengan kesiapan suatu wilayah meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi regionalisasi dan globalisasi. Klaster secara signifikan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah untuk membangun kekayaan masyarakat. Klaster mampu bertindak sebagai pendorong inovasi, dimana keberadaan unsur-unsur dalam klaster diperlukan untuk mengubah gagasan menjadi kekayaan. Unsur universitas atau pusat riset merupakan tulang punggung dalam menciptakan berbagai temuan baru yang kemudian ditransformasikan oleh perusahaan ke dalam berbagai produk atau jasa baru. Unsur pemasok menyediakan perlengkapan atau komponen penting. Unsur perusahaan pemasaran dan distribusi membawa produk itu ke pelanggan. Hasilnya adalah kawasan dengan klaster yang tumbuh dan bekerja dengan baik akan menikmati upah, produktivitas, pertumbuhan usaha, dan inovasi yang lebih tinggi.

B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kajian ini adalah :
1. Mengidentifikasi profil dan karakteristik industri studi kasus
2. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi industri studi kasus ditinjau dari faktor-faktor penentu kekuatan klaster.
3. Menyusun strategi umum pengembangan kawasan melalui penerapan strategi klaster
4. Menyusun rencana tindak pengembangan kawasan melalui penerapan strategi klaster secara spesifik bagi tiap industri studi kasus.
Sasaran dari penyusunan kajian ini adalah tersebarluaskannya strategi dan rencana tindak pengembangan kawasan berbasis strategi klaster kepada pihak-pihak terkait, antara lain :
1. Pemerintah pusat yang berperan dalam merumuskan bentuk-bentuk dukungan dan fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya.
2. Pemerintah daerah (bappeda, dinas teknis, BUMD) yang terlibat dalam kajian ini,berperan dalam merumuskan program dan kegiatan pengembangan kawasan didaerahnya.
3. Pelaku pembangunan lainnya di tingkat pusat dan daerah, seperti dari unsur perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan dunia usaha, yang terkait dan berperan dalam implementasi pengembangan kawasan di daerah.




C. Metodologi Kajian
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui metode pengisian kuisioner, wawancara dengan pelaku kunci, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi di lapangan. Selain itu digunakan data-data sekunder sebagai pendukung dan berbagai literatur yang relevan.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi, analisis, serta perumusan kebijakan,dan strategi pengembangan kawasan secara umum serta secara spesifik untuk industri furniture dan mebel di Kabupaten Cirebon. Selain itu dilakukan pula perumusan rencana tindak bagi pengembangan klaster studi kasus.



















BAB II
GAMBARAN UMUM KONDISI INTERNAL DAN EKSTERNAL

A. Gambaran Umum Wilayah
1. Geografi dan Administrasi
Kabupaten Cirebon yang beribukota Sumber berada di sebelah timur Provinsi Jawa Barat serta berada di jalur jalan lintas utara Pulau Jawa yang mempertemukan arus lalu lintas Jakarta, Bandung, dan kota-kota di Priangan Timur ke arah Jawa Tengah yang dilintasi jalur kereta api dan jalan tol Jakarta-Cirebon.

Secara geografis berada di 108º40’BT – 108º48’BT dan 6º30’LS – 7º00’LS dengan batasan wilayah sebagai berikut :
• Utara : Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, dan Laut Jawa
• Selatan : Kabupaten Kuningan
• Timur : Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah)
• Barat : Kabupaten Majalengka
a. Sosial Kependudukan
Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Cirebon sebesar 2.034.093 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.948 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,96%. Di lihat dari sudut pandang ekonomi, sebagian besar penduduk Kabupaten Cirebon merupakan golongan menengah-bawah. Sebesar 26,28% adalah keluarga Pra KS dan 36,09% keluarga KS I, hanya sebesar 15,84% dan 2% yang termasuk dalam golongan keluarga KS III dan keluarga KS III+. Begitu pula jika dilihat dari tingkat pendidikannya, hanya sebesar 7,5% dan 1,13% penduduk berpendidikan tamatan SLTA dan perguruan tinggi.
b. Ekonomi Regional
Sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002 adalah sektor pertanian (25,31%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (20,26%), dan sektor jasa-jasa (15,29%). Sektor industri pengolahan sendiri berada di urutan ke empat, yang berkontribusi sebesar 11,72% dengan nilai Rp 202.275,12 pada tahun 2002.
Jika ditinjau lebih jauh, industri rotan telah berkontribusi secara signifikan pada ekonomi regional Kabupaten Cirebon. Hal ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap oleh keberadaan industri rotan. Hampir sebesar 60.000 tenaga kerja bergerak di industri ini, baik di industri skala kecil, menengah, maupun besar. Selain itu, nilai ekspor industri rotan juga cukup besar. Dari tahun 1997-2003, nilai ekspor mencapai Rp 437 milyar.
c. Sarana dan Prasarana Wilayah
Di Kabupaten Cirebon, prasarana yang diperlukan dalam pengembangan wilayah masih terbatas. Hanya jalan dengan kondisi aspal yang sudah menjangkau sampai ke desa. Itu pun tidak menjangkau seluruh bagian desa. Pada beberapa desa dimana industri kecil dan rumah tangga berada, kondisi jalan masih tanah dan berbatu. Begitu pula dengan jaringan listrik yang juga terbatas. Kalaupun desa tersebut terlayani listrik, daya pelayanan listrik masih rendah dan terdapat “giliran” hari pelayanan. Permasalahan keterbatasan pelayanan juga terdapat pada air bersih dan jaringan telekomunikasi

B. Kondisi Internal
1. Spesialisasi
Spesialisasi bagi klaster diperlukan untuk penciptaan efisiensi serta mempunyai ciri khas dibandingkan dengan klaster lain. Pada lingkup industri, industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai spesialisasi, yaitu industri kerajinan dan meubel rotan. Sebaliknya jika ditinjau dari spesialisasi produk, industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mempunyai produk khusus rotan yang menjadi ciri khas. Namun jika ditinjau lebih jauh, industri rotan ini mempunyai kecenderungan akan terbentuknya spesialisasi produk, yaitu meubel rotan bergaya Eropa. Hal ini bisa dilihat dari jenis produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel rotan bergaya Eropa yang banyak dipesan oleh pemesan di luar negeri. Oleh karena itu, pada masa mendatang, pembentukan spesialisasi produk tidak banyak mengalami hambatan karena produk meubel bergaya Eropa mempunyai pasar yang jelas dan cukup baik, yaitu internasional. Tenaga kerja yang ada juga telah terlatih dalam membuat produk jenis tersebut.
2 . Kapasitas R&D dan Inovasi
Industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas dalam menciptakan temuantemuan baru. Inovasi yang ada baru pada tahap desain produk. Itu pun hanya berkembang pada produk yang di pasarkan ke luar negeri. Tingginya ketergantungan akan desain produk dari luar negeri menyebabkan inovasi desain yang dilakukan oleh industri rotan itu sendiri menjadi terbatas. Dari hasil pengamatan di lapangan, instituís yang membantu kegiatan R&D industri rotan hanya ada satu, yaitu DDO yang berdiri sejak tahun 2002 atas prakarsa JICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional dan Matsusitha Gobel, yang memberikan bantuan bagi pengusaha rotan masih sebatas pengembangan desain meubel. Akan halnya penelitian dan pengembangan pada teknologi dan proses produksi, belum ada institusi maupun personal yang membantu. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan dan penciptaan inovasi berikut dengan institusi pendukung, masih sangat terbatas. Padahal guna penciptaan suatu klaster, R&D dan inovasi sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen, penciptaan efisiensi produksi melalui innováis mesin-mesin produksi yang hemat energi, perluasan pasar melalui penciptaan produk baru, serta berdaya saing karena menjadi yang terdepan. Dengan adanya keterbatasan tersebut, industri rotan di Kabupaten Cirebon menjadi sulit berkembang menjadi statu klaster yang berhasil dan berdaya saing.
3. Tingkat Pengetahuan dan Keahlian
Pengetahuan dan ketrampilan yang ada dalam klaster dapat dilihat melalui kesesuaian tingkat pengetahuan dan keterampilan yang ada untuk memenuhi kebutuhan klaster. Menurut Bertini (1994) untuk menciptakan sistem industri lokal yang berhasil, tenaga kerja lokal harus memiliki spesialisasi yang tinggi dalam penggunaan teknologi serta memiliki pemahaman yang baik terhadap kebutuhan konsumen. Berdasarkan pengamatan di lapangan dengan responden di industri rotan, tenaga kerja yang ada memiliki spesialisasi keahlian yang tinggi dalam bidang produksi. Semua spesifikasi produk termasuk desain meubel dan anyaman yang diminta oleh pemesan, dapat terpenuhi. Namun di sisi lain, tenaga kerja tersebut mempunyai pengetahuan yang terbatas terhadap manajemen usaha, termasuk pembukuan dan manajemen ketenagakerjaan, serta pemasaran.
Salah satu penyebab rendahnya pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja adalah keterbatasan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki. Keahlian dalam proses produksi yang dimiliki oleh tenaga kerja bersumber dari turun temurun dan pengajaran dari lingkungan kerja. Saat ini belum terdapat institusi pendidikan yang memberikan pendidikan dan pelatihan khusus untuk pengembangan keahlian dalam menganyam rotan, yang tersedia hanya institusi khusus pengembangan desain meubel rotan, yaitu DDO. Sedangkan pengetahuan akan manajemen usaha, teknologi, dan pemasaran, dapat diperoleh dari bantuan pemerintah dan asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi pendidikan yang ada. Tabel 5.1. berikut menguraikan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.1 Sumber Pengetahuan dan keahlian Industri Rotan
di Kabupaten Cirebon

P engatahuan dan Keahlian Sumber
Proses produksi Proses pengajaran turun temurun
Pengajaran pada lingkungan kerja, secara formal,seperti pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh perusahaan, ataupun nonformal melalui pengajaran oleh rekan kerja.
DDO
Teknologi -
Manajemen Usaha Pemerintah bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi
Perusahaan bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi
Asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi
pendidikan tinggi
BDS
Pemasaran Pemerintah
Asosiasi usaha
BDS
Akibat yang dirasakan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pengetahuan dan keahlian tersebut bagi industri skala kecil adalah industri tersebut menjadi sulit berkembang. Sedangkan bagi industri skala besar menengah, guna memenuhi kebutuhan pengembangan usaha, dilakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta perekrutan tenaga kerja yang berpendidikan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Tidak jarang, tenaga kerja yang direkrut berasal dari luar daerah Kabupaten Cirebon, bahkan pada tingkat manajerial dan teknisi permesinan di industri skala besar, tenaga kerja tersebut berasal dari luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa, tenaga kerja di daerah Kabupaten Cirebon belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan akan pengembangan klaster.

4. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kualitas SDM yang baik merupakan faktor penentu keberhasilan dari klaster, sekaligus merupakan ciri dari suatu klaster yang sukses. Klaster perlu berperan dalam pengembangan kualitas pendidikan dan keterampilan masyarakat di wilayah sekitarnya agar klaster memiliki sumber tenaga kerja yang berkualitas tinggi. Untuk itu, klaster harus mampu menarik minat masyarakat, terutama generasi muda berpendidikan, melalui berbagai kesempatan kerja yang ditawarkan. Tabel 5.2. berikut menggambarkan tingkat pekerjaan dan spesifikasi kebutuhan tenaga kerja yang ditawarkan oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.2 Tingkat Pekerjaan dan Kualifikasi Pendidikan yang Diperlukan
Bidang Pekerjaan Klaster Rotan Cirebon Kualifikasi
Produksi - Penganyaman
- Pembuatan rangka SD/SMP
- Perakitan
- Penyelesaian
- Supervisor SMU/PT
- Pengendalian Mutu
Manajemen - Administrasi
- Keuangan SMU/PT
- Humas
Pemasaran Penjualan SMU/PT
Litbang PT

Industri rotan skala kecil masih sangat terbatas dalam mengembangkan kapasitas SDM. Sistem pengelolaan usaha yang masih sederhana belum menawarkan spesifikasi pekerjaan yang beragam dan juga upah yang baik. Pada industri skala kecil, tenaga kerja yang diperlukan tidak harus berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mendorong masyarakat sekitar untuk lebih mengembangkan kemampuan diri agar bisa masuk dalam industri tersebut, karena untuk masuk ke dalam industri tersebut cukup hanya bermodalkan keahlian dalam menganyam dan membuat rangka rotan. Keterbatasan modal yang dimiliki oleh industri skala kecil juga mengakibatkan industri tersebut tidak melakukan usaha pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja yang dimiliki.
Sebaliknya, pada industri skala menengah hingga besar yang telah mengelola perusahaan dengan baik, telah menawarkan beragam tingkat pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih tinggi. Untuk tingkat manajerial misalnya, diperlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan strata satu ataupun dua. Upah yang ditawarkan tentu juga lebih baik. Dengan kondisi seperti ini, memaksa masyarakat yang tertarik bekerja di industri rotan untuk mengembangkan kapasitas dirinya agar sesuai dengan kebutuhan industri.
Dengan struktur industri rotan yang sebagian besar (87,92%) adalah industri skala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mampu mengembangkan sumber daya manusia yang ada.
5. Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama di dalam klaster dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu kerjasama antar perusahaan, kerjasama antara perusahaan dengan lembaga-lembaga pendukung, dan kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah (Stamer, 2003).
C. Kerjasama Antar Perusahaan
Kerjasama antar perusahaan rotan terjadi dalam pola subkontrak. Menurut White (1989), pola subkontrak dapat terjadi dalam dua jenis, yaitu pola subkontrak industrial dan pola sub kontrak komersial. Pola sub-kontrak industrial merupakan pembagian proses produksi dimana produk-produk yang dihasilkan oleh subkontraktor merupakan bagian atau komponen dari proses produksi perusahaan prinsipal, sementara pada pola subkontrak komersial, produk-produk yang dihasilkan oleh sub-kontraktor merupakan produk jadi yang siap dipasarkan oleh prinsipalnya (White, 1989). Berdasarkan pengamatan, kerjasama antar industri rotan skala kecil menengah dengan industri skala besar pada umumnya terjadi dalam bentuk pola sub-kontrak industrial, dimana industri skala kecil dan menengah di Cirebon menghasilkan meubel setengah jadi (rangka meubel) untuk kemudian dilakukan finishing pada industri dengan skala yang lebih besar. Kerjasama internal industri skala kecil dan menengah itu sendiri masih terbatas. Bahkan tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan harga untuk mendapatkan pesanan dari industri besar.
Kerjasama antar industri rotan juga dapat dilihat dari kegiatan asosiasi usaha yang ada. Asosiasi usaha adalah refleksi dari modal sosial yang ada dalam suatu klaster yang terbentuk dari adanya kemauan untuk saling bekerja sama antara usaha-usaha yang ada dalam suatu klaster. Rosabeth Kantor (1995) menyebut modal sosial sebagai “perekat sosial” yang menentukan relasi dan kualitas hidup di dalam industri. Asosiasi Industri Permeubelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) adalah asosiasi yang terkait langsung dengan industri rotan
Ditinjau dari sisi aktivitasnya, ASMINDO dapat dinilai memiliki modal sosial yang cukup baik dalam pengembangan industri di wilayahnya, sehingga meningkatkan daya tawar ASMINDO sebagai organisasi terhadap pelaku-pelaku lainnya dalam klaster. Sebagai contoh, pada tahun 2003, atas inisiatif dan pendekatan dari ASMINDO, pemerintah Kabupaten Cirebon membuat kesepakatan dengan dengan Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah untuk memperoleh rotan dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan bahan baku. Demikian pula pada Tahun 2004 tengah dilakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Gorontalo dan Palu dalam hal yang sama. Hal ini memperlihatkan telah munculnya kepentingan bersama (common interest) diantara anggota ASMINDO yang melahirkan dukungan terhadap jalannya kegiatan organisasi. Keterlibatan usaha dalam ASMINDO juga tampaknya diangap penting oleh pengusaha Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota ASMINDO yang mengalami perkembangan yang signifikan, dari sekitar 60 unit usaha pada tahun 2001 menjadi 157 unit usaha pada tahun 2004. Beberapa responden yang terlibat di ASMINDO mengaku memeperoleh manfaat berupa informasi pasar dan kemudahan dalam melakukan pemasaran dari keterlibatannya dalam asosiasi. Namun demikian, keanggotaan ASMINDO masih bersifat ekslusif, dimana keanggotaannya terbatas hanya para eksportir yang notabene merupakan usaha skala menengah hingga besar.
Kerjasama antara industri rotan dengan industri hulu dinilai cukup baik. Seperti yang telah dijelaskan, untuk penyediaan bahan baku, industri rotan melalui asosiasi usaha dan dibantu oleh pemerintah, telah melakukan kerjasama dengan daerah penghasil rotan. Sedangkan kerjasama dengan industri hilir, hanya sebatas dengan industri perdagangan dan industri pengangkut barang. Industri perdagangan yang memasarkan produk rotan di pasaran nasional dirasakan kurang berperan secara optimal. Di Kabupaten Cirebon belum tersedia trading house yang memamerkan dan memasarkan produk meubel dan kerajinan rotan. Outlet-outlet pasar di Kabupaten Cirebon juga masih terbatas dan belum tersedia di kota-ktoa besar. Kalaupun ada, produk yang diperdagangkan hanya berkualitas yang menengah ke bawah dengan desain yang kurang menarik.
D. Kerjasama Antara Industri dengan Lembaga Pendukung
Kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung terjadi dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta pemenuhan modal usaha. Dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan, industri rotan bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi sebagai prakarsa program pemerintah dan lembaga bantuan pengembangan bisnis (BDS). Di Kabupaten Cirebon, belum tersedia institusi pendidikan tinggi yang memberikan fokus khusus mengenai pengembangan rotan. Institusi pendidikan tinggi yang ada baru berperan dalam hal manajemen usaha, dalam hal ini Universitas Pajajaran, Uniersitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Namun begitu terdapat DDO, institusi prakarsa JICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional (PDN) dan Matsusitha Gobel yang memberikan pendidikan dan pelatihan untuk desain meubel rotan. Terdapat pula BDS Bina Mitra Usaha yang memberikan pelayanan konsultasi, pelatihan dan pendampingan, dan kontak bisnis, serta memberikan fasilitasi dalam bidang perluasan pemasaran, akses permodalan, pengembangan organisasi dan manajemen, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Karena biaya yang harus dikeluarkan oleh tiap industri setiap menggunakan jasa BDS, maka sangat banyak industri rotan, terutama skala kecil, belum melakukan kerjasama dengan BDS. Oleh karena itu, BDS yang ada belum dapat berperan maksimal dalam pengembangan industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Begitu pula dengan lembaga keuangan. Lembaga perbankan yang ada, yaitu Bank Mandiri, BTN, BCA, Bank Danamon, dan lainnya, belum berperan banyak dalam pengembangan industri rotan. Industri yang melakukan kerjasama dengan lembaga perbankan sebagian besar adalah industri rotan skala besar menengah. Industri skala kecil banyak yang belum mampu mengakses ke perbankan karena keterbatasan informasi dan birokrasi selama proses pengajuan permohonan peminjaman. Lembaga keuangan yang banyak membantu industri skala kecil adalah koperasi. Salah satunya adalah Koperasi Rukun Warga yang pelayanannya masih sebatas simpan pinjam antar anggota. Keterbatasan peran lembaga keuangan ini berakibat pada penanganan permasalahan permodalan yang banyak dialami oleh industri skala kecil dan menengah menjadi sulit teratasi
E. Kerjasama Antara Industri dengan Pemerintah
Selama ini, industri rotan banyak bekerjasama dengan pemerintah daerah. Perannya dalam membantu pengembangan industri rotan dinilai cukup signifikan. Diantaranya kerjasama antara ASMINDO dengan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku rotan. Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon menjadi fasilator dengan pemerintah daerah penghasil rotan. Kerjasama juga dilakukan dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, melakukan pelatihan teknis produksi (tahun 2002) dan pelatihan manajemen usaha Dalam pelatihan manajemen usaha, pemerintah bekerjasama dengan lembaga pendidikan, seperti Universitas Pajajaran, Universitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Untuk membantu pemasaran produk, Disperindag telah melaksanakan program pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran dalam negeri yang rutin diikuti diantaranya event PPE, PRJ, dan beberapa pameran lain seperti di Bandung dan Bali. Sedangkan untuk pameran luar negeri, Disperindag bekerjasama dengan pemerintah pusat dan BPEN dalam memberikan informasi dan memfasilitasi penyediaan stand dan cargo. Beberapa negara yang pernah diikuti diantaranya Dubai (tahun 2003), Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Brunei Darussalam (Maret 2004), dan beberapa negara di Eropa Timur. Selain melakukan pameran, Disperindag Kabupaten Cirebon juga memfasilitasi dalam kerjasama dengan atase perdagangan di luar negeri.
Adapun keterkaitan dan peran institusi dan industri pendukung industri rotan di Kabupaten Cirebon, dapat digambarkan sebagamana terlampir (Gambar 5.1).
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan kerjasama telah terjadi diantara stakeholder yang terkait dengan industri rotan, dengan intensitas yang berbeda-beda. Intensitas kerjasama yang paling tinggi adalah kerjasama antara industri rotan dengan pemerintah. Selanjutnya adalah kerjasama antar industri rotan dinilai cukup intens, walaupun antar industri skala kecil dirasakan masih kurang. Sementara itu, kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung dinilai sangat kurang, terutama dengan lembaga keuangan dan industri perdagangan. Keterbatasan kerjasama ini tentu akan berdampak pada terhambatnya pengembangan klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon, khususnya dalam hal permodalan.
F. Semangat Kewirausahaan
Suatu klaster dapat dikatakan sebagai klaster yang dinamis ketika klaster tersebut berhasil mendorong perkembangan jumlah perusahaan yang ada. Perusahaan yang baru muncul adalah perusahaan yang didirikan oleh tenaga kerja yang sebelumnya pernah bekerja di perusahaan sejenis. Timbulnya jiwa wirausaha di tenaga kerja tersebut akhirnya mendorong tenaga kerja tersebut membuka perusahaan baru menjadi perusahaan komplementer atau kompetitor.
Dari data yang diperoleh, jumlah industri meubel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon cenderung mengalami peningkatan. Dari sekitar 850 industri di tahun 1997 berkembang menjadi 1.019 industri di tahun 2003. Penambahan ini bisa terjadi akibat proses pembelajaran yang turun temurun. Setiap anak yang berasal dari orangtua yang mempunyai usaha rotan, serta memperoleh keahlian akah hal tersebut, menjadi tertarik untuk membuka usaha baru. Begitu pula dengan tenaga kerja yang ada, ketika tenaga kerja tersebut mempunyai keahlian dan kemampuan yang cukup, tenaga kerja tersebut juga pada akhirnya membuka usaha baru. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai potensi terbentuknya klaster yang dinamis.
G. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Pemimpin industri diperlukan untuk menggalang kerjasama dan pembentukan visi bersama diantara industri-industri lain. Adanya visi bersama membuat industri yang ada menjadi kuat untuk bersaing dengan industri di daerah lain.
Pembentukan visi bersama dalam industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas. Asosiasi usaha sebagai cerminan adanya kerjasama dan visi bersama, belum beranggotakan seluruh industri rotan yang ada, khususnya industri skala kecil. Bahkan di industri skala kecil tersebut terjadi persaingan harga yang justru menghambat perkembangan usaha. Sementara itu, industri rotan belum mempunyai pemimpin industri yang menjadi pemersatu dan pengarah pengembangan usaha. Keterbatasan ini menyebabkan industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mampu menciptakan klaster yang saling bersinergi antara satu sama lain.
F. Kondisi Eksternal
1. Pasar dan Kompetitor
Secara umum terdapat tiga tujuan pasar bagi produk mebel dan kerajinan rotan Kabupaten Cirebon, yaitu pasar lokal, pasar antar daerah, dan pasar ekspor. Sebagian besar mebel dan kerajinan rotan yang diproduksi oleh klaster merupakan produk-produk yang berorientasi ekspor, antara lain Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Saat ini di Kabupaten Cirebon terdapat sekitar 157 eksportir rotan. Jika dilihat dari perkembangannya dari tahun 1997 hingga 2003, jumlah produk yang ditujukan bagi ekspor mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi persaingan yang sangat ketat terutama setelah pasar-pasar ekspor dibanjiri oleh produk-produk meubel dari negara lain seperti Cina dan Vietnam dalam hal harga dan kualitas produk. Adanya ekspor rotan mentah yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan negara Cina memperoleh bahan baku rotan dengan harga yang lebih murah. Dengan efisiensi tinggi, negara Cina bisa menghasilkan produk yang lebih murah. Di sisi lain, negara Cina kini telah membudidayakan rotan, sehingga kebutuhan rotan dengan berbagai ukuran dapat terpenuhi, dengan begitu bisa menghasilkan produk yang lebih baik dengan produk rotan dari Indonesia. Sebaliknya untuk pemasaran regional, terjadi peningkatan. Adapun persentase pemasaran produk menurut cakupan pemasarannya dapat dilihat pada gambar 5.2. di bawah ini.



Gambar 5.2 Persentase Pemasaran Produk Menurut Cakupannya
Tahun 1997-2003

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemasaran di pasar internasional adalah tidak adanya pesanan pada musim liburan di Eropa sebagai pasar utama. Kondisi ini terjadi sekitar 3 bulan setiap tahun, sehingga pada bulan-bulan tersebut industri terpaksa untuk merumahkan sementara para pekerjanya. Sedangkan kendala dalam pemasaran di pasar dalam negeri adalah terkait dengan minat masyarakat yang kurang menghargai produk meubel rotan. Di mata banyak masyarakat, meubel rotan adalah meubel kedua setelah meubel kayu karena dinilai mempunyai daya tahan yang kurang dibandingkan dengan meubel kayu. Daya beli masyarakat dalam negeri juga sebagian besar tergolong rendah. Oleh karena itu, produk-produk yang dipasarkan di dalam negeri sebagian besar berkualitas menengah-rendah dengan desain yang kurang menarik.
Ditinjau dari segementasi pasar, sebagian besar segment pasar industri rotan di Kabupaten Cirebon adalah pasar luar negeri yang masyarakatnya mempunyai daya beli yang cukup tinggi. Pemesan dari luar negeri itulah yang memesan produk berikut dengan desain dan spesifikasi produk, sehingga kualitas produk menjadi terjamin. Sebaliknya pada pasar dalam negeri, karena daya beli minat dan daya beli masyarakat yang kurang, maka produk yang dipasarkan berkualitas menengah-rendah dan desain yang monoton. Diversifikasi produk lebih banyak terjadi akibat permintaan pasar luar negeri. Jenis produk yang diminta memang tidak jauh seputar meubel, namun desain produk tersebut sangat bervariasi, tidak hanya terdiri dari rotan, namun juga dipadukan dengan material lainnya seperi kaca, busa, kayu, dan besi, sehingga menjadi meubel yang menarik.
2. Iklim Usaha
Kondisi nasional selama beberapa tahun tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi semua sektor usaha, termasuk meubel. Industri meubel mendapat ancaman terbesar justru dari dalam negeri sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun kasus pembalakan liar (illegal logging) serta ekspor kayu ilegal membuat industri meubel terancam karena kekurangan bahan baku. Begitu pula dengan rotan yang pernah diijinkan untuk diekspor ke luar negeri. Ironisnya, baik kayu maupun rotan, banyak diekspor ke negara kompetitor Indonesia sendiri, yaitu Cina. Namun sejak tahun 2001, ekspor rotan mentah kembali dilarang. Diharapkan kebijakan ini dipatuhi oleh semua pihak dan tidak terjadi ekspor rotan secara ilegal.
Berdasarkan kajian mengenai pemeringkatan daya tarik investasi di 200 kabupaten dan kota di Indonesia yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2003, dari 156 kabupaten yang diteliti, Kabupaten Cirebon menduduki peringkat ke-92. Semua faktor yang menarik investasi di Kabupaten Cirebon menduduki peringkat bawah. Faktor ekonomi sebagai faktor yang mempunyai peringkat terendah, yaitu peringkat 108, juga pada faktor sosial politik yang menduduki peringkat ke-96, dan faktor kelembagaan pada peringkat ke-69. Sebaliknya faktor tenaga kerja dan infrastruktur fisik mempunyai peringkat menengah, yaitu pada peringkat ke-27 dan ke-30. Menurut bebreapa responden, dalam melakukan usaha seringkali ditemukan peraturan perpajakan dan retribusi yang cukup memberatkan.





























BAB III
STRATEGI DAN RENCANA TINDAK

A. Kebijakan dan Strategi Umum
Klaster dapat dikembangkan dalam empat area, yaitu dalam bidang-bidang yang menjadi penentu daya saing sebuah klaster seperti yang dikemukakan oleh Porter (2001), yaitu : (1) aspek permintaan atau pasar, (2) aspek struktur, strategi, dan persaingan ; (3) aspek institusi dan industri pendukung; serta (4) kondisi faktor atau input. Pengembangan empat area tersebut memerlukan suatu kelembagaan pemerintahan yang efektif dan iklim usaha yang kondusif.
1. Aspek Permintaan/ Pasar
Permintaan pasar terhadap UKM pada umumnya sangat besar. Namun demikian, UKM pada umumnya masih bekerja secara individual sehingga permintaan pasar yang besar sulit untuk dipenuhi karena tidak adanya efisiensi kolektif. Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan pun sering tidak mampu memenuhi tuntutan pasar. Kebijakan dan strategi umum yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan akses terhadap permintaan pasar adalah :
(1) Memfasilitasi perluasan akses pasar UKM
Strategi yang dapat dilakukan :
• Mendorong spesialisasi produk dalam industri
• Penguatan kemitraan dan kerjasama pemasaran antara industri skala kecil dan menengah dengan industri besar
• Memberikan insentif kepada usaha untuk berinovasi
• Memfasilitasi promosi dan pemasaran produk
• Mendorong kegiatan-kegiatan penelitian pasar (market researh) guna mencari orientasi dan sasaran pasar yang baru dan bermutu tinggi.
• Penyediaan fasilitas pemasaran (trading house, market center, dsb) untuk menciptakan rantai pemasaran yang lebih efisien.
• Mendorong peran Business Development Service dalam pemasaran produk
(2) Peningkatan Kualitas Produk
Strategi yang dapat dilakukan :
• Peningkatan keahlian dan teknologi untuk mendorong spesialisasi produk
• Memfasilitasi pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk.
• Mendorong penggunaan bahan baku lokal yang baik dan berkualitas
• Mendorong peran Business Development Service untuk meningkatkan kualitas produk.

2. Aspek Faktor Produksi
Aspek faktor produksi merupakan salah kendala utama yang banyak ditemukan dalam peningkatan daya saing klaster. Faktor prtoduksi meliputi SDM, bahan baku, modal, infrastruktur, dan teknologi. Kebijakan dan Strategi yang dapat diterapkan dalam peningkatan aspek faktor produksi adalah :
(1) Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan Tenaga Kerja
Strategi yang dapat dilakukan:
• Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pendidikan serta latihan untuk meciptakan tenaga kerja yang terampil
• Mendorong peran lembaga-lembaga pendidikan dan latihan dalam peningkatan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja

(2) Peningkatan Teknologi Produksi
Strategi yang dapat dilakukan:
• Memfasilitasi penguatan linkage dengan perusahaan-perusahaan besar untuk mengupayakan alih teknologi.
• Memberikan insentif bagi modernisasi teknologi dan peralatan.
• Kerjasama pemanfaatan hasil-hasil penelitian dengan lembaga penelitian dan pengembangan atau universitas untuk meningkatkan kapasitas teknologi produksi.
• Mendorong peran lembaga litbang untuk meningkatkan teknologi produksi.
(3) Peningkatkan Ketersediaan Modal
Strategi yang dapat dilakukan:
 Memberikan bantuan permodalan kepada UKM
 Mendorong UKM untuk melakukan legalisasi usaha dan perbaikan manajemen usaha
 Mendorong peran lembaga intermediasi keuangan dalam penyediaan layanan kredit dan modal
(4) Menjamin Ketersediaan Bahan Baku
Startegi yang dapat dilakukan:
 Meninjau ulang kebijakan ekspor bahan baku dan menyusun kebijakan yang dapat menjamin pasokan bahan baku di dalam negeri.
 Mendorong penelitian dan pengembangan bahan baku alternatif
 Mendorong penggunaan bahan baku yang berkualitas.
 Penggunaan bahan baku lokal yang sesuai dengan potensi setempat

(5) Penyediaan sarana dan prasarana
Strategi yang dapat dilakukan :
 Memperluas akses kepada teknologi informasi untuk meningkatkan akses pasar.
 Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi pada lokasi-lokasi industri yang masih sulit diakses

3. Aspek Strategi, Struktur, dan Persaingan Usaha
Tujuan pengembangan klaster adalah untuk menghasilkan efisiensi kolektif. Hal ini tidak dapat dicapai oleh perusahaan secara individual, melainkan melalui keterkaitan (linkages) yang kuat antara perusahaan-perusahaan yang inovatif. Adanya keterkaitan antar perusahaan akan meningkatkan pembagian kerja dan mendorong kerja sama antar perusahaan termasuk penyebaran ide dan inovasi. Keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun kedepan (forward linkage) antarperusahaan atau bahkan dengan perusahaan yang lebih besar mendorong terjadinya produksi bersama (joint manufacture). Dalam kebanyakan industri di indonesia, perkembangan klaster masih berada pada tahap awal. Pemerintah perlu mengambil peran sebagai motivator, katalisator dan inisiator pengembangan jaringan serta kerjasama antar usaha sehingga tercipta tindakantindkan bersama (joint and collectibe action). Pemerintah perlu membangkitkan kondisi UKM agar tidak tergantung pada kapasitasnya yang terbatas tapi bekerja sama dalam kelompok untuk menjadi lebih kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan forum- forum serta pengembangan asosiasi secara partisipatif untuk menyediakan kepemimpinan dan koordinasi dalaam klaster. Namun demikian, secara bertahap peran ini sebaiknya dialihkan kepada pemimpin di sektor swasta (privat) seiring dengan menguatnya tingkat kerjasama dan modal sosial di dalam klaster sedangkan pemerintah cukup berperan dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi.
Beberapa kebijakan dan strategi untuk memperkuat kerjasama dan mendorong persaingan positif antar perusahaan antara lain :
(1) Peningkatan kerjasama dan jaringan antar usaha
Strategi yang dapat dilakukan:
 Mempromosikan kerjasama diantara UKM-UKM melalui pendekatan pasrtisipatif
 Mendorong peran asosiasi usaha sebagai basis kerjasama kolektif para pelaku usaha.
 Memfasilitasi asosiasi usaha untuk melakukan aktivitas-aktivitas bersama (collective action)
(2) Penciptaan iklim kompetisi yang sehat
Strategi yang dapat dilakukan:
 Melakukan pembinaan serta memeperkuat jaringan pasar UKM agar tidak terjadi persaingan harga yang kontra-produktif.
 Meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap Hak kekayaan intelektual (HAKI).
 Mendorong dan memfasilitasi pendaftaran paten, merek, dan hak cipta produk produk yang dihasilkan oleh usaha.
 Memfasilitasi keberadaan lembaga penyedia layanan HAKI
(3) Mendorong kepemimpinan dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan:
 Memberikan insentif kepada UKM-UKM yang berpotensi di dalam klaster.
 Memfasilitasi UKM-UKM yang berpotensi untuk berperan dalam asosiasi usaha.

4. Aspek Institusi dan Industri Pendukung
Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai kegiatan penelitian, pendidikan, dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan UKM. Dalam penyelenggaraan kegiatan ini, pemerintah perlu melakukan kolaborasi dengan sektor usaha dan lembaga pendukung, misalnya BDS, perguruan tinggi, industri hilir, industri pemasok, dan konsultan. Beberapa Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat aspek institusi dan industri pendukung antara lain :
(1) Meningkatkan peranan institusi pendukung dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan :
 Menciptakan kemitraan antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembagalembaga pendukung dalam meberikan layanan kepada usaha di dalam klaster.
 Memfasilitasi poenyebaran informasi mengenai layanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendukung kepada usaha.
 Memebrikan insentif kepada usaha skala kecil dan rumah tangga agar dapat mengakses layanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendukung.
(2) Meningkatkan keterkaitan antara usaha dengan inudstri hulu dan hilir
Strategi yang dapat dilakukan :
 Memberikan insentif dan kemudahan usaha di dalam klaster untuk menarik industri-industri pendukung untuk melakukan investasi.
 Memfasilitasi forum kerjasama dan komunikasi antara usaha dengan industri industri di sektor hulu dan hilir
5. Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan pemerintah sangat menentukan pengembangan suatu klaster industri, terutama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Pengembangan klaster bergantung kepada kemauan politik dan dukungan dari pemerintah dalam mengembangan perekonomian lokal. Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan adalah
(1) Menciptakan Iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan klaster
Strategi yang dapat dilakukan :
 Menyederhanakan peraturan di sektor ketenagakerjaan, industri, dan perdagangan sehingga mendukung pengembangan klaster.
 Mengupayakan kebijaksanaan perpajakan selektif terhadap produk tertentu, dengan menghilangkan pajak berganda dan menetapkan pajak pada produk akhir (PPN), bukan pada bahan baku,
 Memberikan insentif, subsidi dan kemudahan bagi investasi.
 Mengupayakan keterpaduan program dan langkah implementasinya yang terfokus pada peningkatan daya saing produk nasional terhadap produk impor.
 Menjaga kepastian hukum dan melakukan penegakan hukum,
 Memperbaiki mekanisme dan prasarana sarana tataniaga, serta menghilangkan adanya monopoli perdagangan, kartel ataupun monopsomi.
(2) Menciptakan kelembagaan pemerintah yang efisien dan efektif
Strategi yang dapat dilakukan :
 Mengupayakan peran efektif sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pengembangan iklim usaha yang kondusif serta memberantas tegas terhadap penyelundupan produk impor.
 Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah di setiap level pemerintahan
 Menyederhanakan prosedur admininstratif dan menghindari birokrasi yang berbelit-belit untuk mendorong kemudahan usaha untuk melakukan investasi
 Menegakkan good-governance dalam praktek kepemerintahan
 Menghindari peraturan-peraturan daerah yang menghambat investasi


B. Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan Klaster di Kabupaten Cirebon

Klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon pada saat ini banyak menghadapi ancaman yang datang dari luar sementara kondisi klaster industri itu sendiri masih banyak mempunyai kelemahan.

Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Mempunyai potensi terbentuknya spesialisasi produk meubel bergaya Eropa Ketersediaan lembaga R&D masih terbatas
Tingkat keahlian tenaga kerja dalam proses produksi cukup tinggi. Kegiatan inovasi masih sebatas desain produk
Kerjasama dengan pemerintah dan perannya terhadap pengembangan usaha dinilai baik. Tingkat pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja masih terbatas dalam manajemen usaha dan pemasaran
Kerjasama yang cukup baik terjadi antara industri skala besar dan menengah yang tergabung dalam asosiasi. Struktur dan manajemen industri yang ada belum banyak mengembangkan kapasitas SDM
Sistem pengajaran keahlian mendorong tenaga kerja dan masyarakat untuk mendirikan usaha baru dan menjadikan industri rotan terus bertambah, sehingga berpotensi menjadi klaster yang dinamis dan berdaya saing karena tidak terjadi monopoli usaha. Lembaga pendukung belum bekerjasama dengan baik, sehingga perannya masih kurang dirasakan untuk pengembangan usaha.
Kerjasama antar pelaku industri kecil dinilai sangat kurang, bahkan terjadi persaiangan yang kurang sehat
Belum terdapat pimpinan industri
Visi bersama antar pelaku usaha masih terbatas, hanya ada dalam asosiasi usaha
Peluang (O) Ancaman (T)
Pengembangan produk meubel yang berkualitas Persaiangan di tingkat internasional dalam hal harga dan kualitas
Keputusan Presieden akan pelarangan ekspor rotan membuka peluang untuk pemenuhan kebutuhan rotan Kelangkaan rotan akibat ekspor rotan ilegal
Industri sulit berkembang akibat iklim usaha yang kurang mendukung
Strategi yang diambil dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kondisi internal guna mempersiapkan diri menghadapi ancaman dari luar, guna mewujudkan suatu klaster yang berhasil. Berdasarkan faktor kelemahan dan faktor ancaman yang dimiliki oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon, maka banyak langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada. Untuk itu, diambil beberapa strategi prioritas yang mempunyai keterkaitan dengan banyak hal, yaitu:
1. Penguatan kerjasama
Selama ini, stakeholder yang terkait dengan industri rotan di Kabupaten Cirebon berjalan masing-masing, belum mempunyai visi bersama. Peningkatan kerjasama menjadi salah satu prioritas strategi pengembangan klaster karena klaster industri rotan tidak akan berhasil jika tidak terjadi kerjasama yang baik antar stakeholder. Produk pemesanan tidak akan selesai diproduksi tepat waktu jika tidak ada kerjasama antara industri besar pemberi kontrak dengan industri kecil menengah yang melaksanakannya. Proses produksi akan terhambat jika lembaga keuangan tidak membantu memberikan kredit permodalan. Oleh karena itu, agar proses kerjasama dapat terlaksana dengan baik, langkah yang dilakukan adalah memfasilitasi pembentukan “Unit Kerjasama Klaster”, suatu institusi yang khusus mengelola klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon. Anggotanya merupakan perwakilan dari industri rotan skala kecil, menengah, dan besar dan industri terkait dengan rotan di bagian hulu dengan hilir, serta perwakilan dari pemerintah, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis. Institusi tersebut berfungsi sebagai koordinator, pengambil keputusan, wadah informasi, serta fasilitator terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di lintas pelaku. Institusi ini juga bertugas untuk merumuskan visi dan misi bersama, serta kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan guna mencapai visi tersebut.

2. Spesialisasi produk
Spesialisasi diperlukan bagi klaster karena dengan adanya spesialisasi produk rotan berarti mencapai efektifitas serta mempunyai ciri khas dibandingkan dengan produk rotan dari daerah lain. Penentuan spesialisasi menjadi strategi yang diprioritaskan karena terkait dengan pemasaran produk dan nilai tambah yang dihasilkan oleh produk itu sendiri. Industri rotan di Kabupaten Cirebon diarahkan kepada spesialisasi meubel rotan bergaya Eropa. Hal ini tidak sulit bagi industri rotan di Kabupaten Cirebon karena selama ini produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel bergaya Eropa. Produk tersebut juga telah mempunyai pangsa pasar yang jelas, yaitu internasional yang mempunyai daya beli yang tinggi. Dengan harga jual yang baik, maka pengusaha industri rotan dapat memperoleh keuntungan yang memadai, dengan begitu usaha menjadi berkembang dan kesejahteraan tenaga kerja juga dapat meningkat. Terjadinya peningkatan usaha di industri rotan sebagai industri inti, akan berdampak pada peningkatan usaha di industri hulu dan hilir.
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting bagi pengembangan usaha dan klaster itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu prioritas strategi karena manusialah yang menjadi penggerak, pemberi keputusan, dan pelakui setiap kegiatan yang ada dalam klaster. Usaha tidak akan berkembang dengan baik jika pelaku usaha tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan usahanya itu sendiri, mempunyai pengetahuan yang terbatas akan manajemen usaha dan pemasaran, juga mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan teknologi.
4. Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh KPPOD, Kabupaten Cirebon Belem memiliki iklim usaha yang baik. Penciptaan iklim usaha menjadi strategi prioritas karena terkait dengan pengembangan usaha. Peraturan, birokrasi, potensi SDM, dan ketersediaan infrastruktur, diperlukan untuk penciptaan efisiensi, sedang keamanan menentukan keberlangsungan usaha di suatu wilayah. Dengan iklim usaha yang kondusif, selain usaha menjadi berkembang dengan baik, juga akan menarik pelaku usaha dari daerah/negara lain untuk melakukan investasi pada klaster, sehingga membantu permasalahan permodalan yang banyak dihadapi oleh banyak industri skala kecil dan menengah. Untuk mewujudkan strategi prioritas tesebut, disusun rencna tindak pengembangan klaster seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 6.2.
Tabel 6.2 Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan
di Kabupaten Cirebon

No Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
1 Penguatan Kerjasama Terjadinya kerjasama yang kuat antara pelaku-pelaku yang terkait dengan klaster, sehingga terwujud sinergitas guna mencapai satu visi bersama. - Industri rotan di semua st ruktur
a Pembentukan ’Unit Bersama Klaster’ diantara stekaholder klaster - Industri pendukung (pembeli,pemasok, dll)
b Penyusunan visi bersama guna pengembangan klaster industri rotan - Pemerintah (Bappeda, Dinas)
c Penyusunan kebijakan dan program - Lembaga keuangan
Lembaga pendidikan dan pelat ihan
Lembaga R&D
2 Pembentukan Spesialisasi Produk - Industri rotan di semua st ruktur
a Mengadakan penelitian pasar a Teridentifikasinya pasar produk terspesiliasai - Industri pendukung (pembeli, pemasok, dll)
b Fasilitasi pameran dan kontak dagang di dalam dan luar negeri b Terbukanya peluang pasar baru - Dinas Perindust rian dan Perdagangan
c Fasilitasi out let -out let pemasaran di kota-kota besar di dalam negeri c Terwujudnya pemasaran produk dengan baik di dalam negeri - Dinas Koperasi dan UKM
d Sosialisasi dan fasilitasi proses hak paten produk d Terciptanya iklim persaiangan yang sehat , serta mendorong terwujudnya inovasi - Lembaga keuangan
e Penyediaan prasarana dan sarana telekomunikasi, termasuk teknologi informasi e Tersedianya prasarana dan sarana telokomunikasi guna menunjang efisiensi pemasaran - Lembaga pendidikan dan pelatihan
f Bantuan penyediaan kredit ekspor f Tersedianya modal yang
membantu industri untuk
melakukan ekspor produk - Lembaga R&D
3 Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
a Membangun pusat /balai pendidikan dan pelat ihan khusus untuk indust ri rotan di setiap sent ra indust ri rotan. a Tersedianya sarana pendidikan
dan pelat ihan khusus indust ri
rotan Industri rotan di semua st ruktur
b Memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelat ihan di semua bidang, mulai dari peningkatan keahlian dan keterampilan, desain produk, pengenalan teknologi, manajemen usaha termasuk pembukuan, pemasaran, hingga pemahaman akan HaKI. b Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kebutuhan pengembangan klaster Dinas Perindustri dan Perdagangan
c Memfasilitasi kerjasama antara industri rotan dengan inst itusi pendidikan dan pelat ihan yang terkait . c Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan indust ri Dinas Tenaga Kerja


d


Memfasilitasi kerjasama antara indust ri
rotan skala besar dengan skala kecil dan menengah dalam hal pengenalan teknologi, manajemen usaha, dan pemasaran.
d
Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan indust ri
Lembaga pendidikan dan pelat ihan
4 Penciptaan iklim usaha yang kondusif guna kelancaran pelaksanaan dan pengembangan usaha, terutama dalam menarik investor untuk berinvestasi di industri rotan Industri rotan di semua st ruktur
Pembentukan regulasi yang mendukung perkembangan usaha Terwujudnya regulasi yang
mendukung pengembangan usaha, serta hilangnya regulasi yang menghambat pengembangan usaha Bappeda
Pembentukan rencana bisnis indust ri rotan Tersedianya arah dan kebijakan pengembangan bisnis rotan yang jelas bagi para investor Dinas Perdagangan dan
Perindust rian
Peningkatan pelayanan aparatur terhadap dunia usaha Terwujudnya ef isiensi dan efekt ivitas dalam membuat perijinan usaha Dinas Pendapatan Daerah
Peningkatan keamanan wilayah Terwujudnya rasa aman bagi pelaku usaha dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha Badan Penanaman Modal Daerah
Pembentukan rencana bisnis indust ri rotan

Tidak ada komentar: