Rabu, 18 Juni 2008

tugas klaster industri (industri rotan di kabupaten cirbon)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsekuensi logis dari pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini adalah berhadapannya seluruh daerah di wilayah nasional dengan tingkat persaingan yang semakin tajam secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa , baik di pasar domestik maupun internasional. Upaya - upaya untuk meningkatkan kualitas potensi unggulan daerah, termasuk sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia khususnya, adalah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda tunda lagi pelaksanaannya, dan memerlukan sumber daya yang sangat besar dalam kondisi keterbatasan yang dihadapi dewasa ini. Pendekatan pokok utama dalam mengatasi tantangan tersebut adalah melalui pelaksanaan percepatan pengembangan wilayah dengan mengutamakan peningkatan daya saing sebagai dasar pertumbuhan daerah.
Saat ini konsep klaster sebagai suatu pendekatan kebijakan baru dalam pengembangan wilayah telah semakin luas digunakan di berbagai negara baik negara maju maupun negara berkembang, terutama dikaitkan dengan kesiapan suatu wilayah meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi regionalisasi dan globalisasi. Klaster secara signifikan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah untuk membangun kekayaan masyarakat. Klaster mampu bertindak sebagai pendorong inovasi, dimana keberadaan unsur-unsur dalam klaster diperlukan untuk mengubah gagasan menjadi kekayaan. Unsur universitas atau pusat riset merupakan tulang punggung dalam menciptakan berbagai temuan baru yang kemudian ditransformasikan oleh perusahaan ke dalam berbagai produk atau jasa baru. Unsur pemasok menyediakan perlengkapan atau komponen penting. Unsur perusahaan pemasaran dan distribusi membawa produk itu ke pelanggan. Hasilnya adalah kawasan dengan klaster yang tumbuh dan bekerja dengan baik akan menikmati upah, produktivitas, pertumbuhan usaha, dan inovasi yang lebih tinggi.

B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kajian ini adalah :
1. Mengidentifikasi profil dan karakteristik industri studi kasus
2. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi industri studi kasus ditinjau dari faktor-faktor penentu kekuatan klaster.
3. Menyusun strategi umum pengembangan kawasan melalui penerapan strategi klaster
4. Menyusun rencana tindak pengembangan kawasan melalui penerapan strategi klaster secara spesifik bagi tiap industri studi kasus.
Sasaran dari penyusunan kajian ini adalah tersebarluaskannya strategi dan rencana tindak pengembangan kawasan berbasis strategi klaster kepada pihak-pihak terkait, antara lain :
1. Pemerintah pusat yang berperan dalam merumuskan bentuk-bentuk dukungan dan fasilitasi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan daya saing daerahnya.
2. Pemerintah daerah (bappeda, dinas teknis, BUMD) yang terlibat dalam kajian ini,berperan dalam merumuskan program dan kegiatan pengembangan kawasan didaerahnya.
3. Pelaku pembangunan lainnya di tingkat pusat dan daerah, seperti dari unsur perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan dunia usaha, yang terkait dan berperan dalam implementasi pengembangan kawasan di daerah.




C. Metodologi Kajian
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui metode pengisian kuisioner, wawancara dengan pelaku kunci, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi di lapangan. Selain itu digunakan data-data sekunder sebagai pendukung dan berbagai literatur yang relevan.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi, analisis, serta perumusan kebijakan,dan strategi pengembangan kawasan secara umum serta secara spesifik untuk industri furniture dan mebel di Kabupaten Cirebon. Selain itu dilakukan pula perumusan rencana tindak bagi pengembangan klaster studi kasus.



















BAB II
GAMBARAN UMUM KONDISI INTERNAL DAN EKSTERNAL

A. Gambaran Umum Wilayah
1. Geografi dan Administrasi
Kabupaten Cirebon yang beribukota Sumber berada di sebelah timur Provinsi Jawa Barat serta berada di jalur jalan lintas utara Pulau Jawa yang mempertemukan arus lalu lintas Jakarta, Bandung, dan kota-kota di Priangan Timur ke arah Jawa Tengah yang dilintasi jalur kereta api dan jalan tol Jakarta-Cirebon.

Secara geografis berada di 108º40’BT – 108º48’BT dan 6º30’LS – 7º00’LS dengan batasan wilayah sebagai berikut :
• Utara : Kabupaten Indramayu, Kota Cirebon, dan Laut Jawa
• Selatan : Kabupaten Kuningan
• Timur : Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah)
• Barat : Kabupaten Majalengka
a. Sosial Kependudukan
Pada tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Cirebon sebesar 2.034.093 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.948 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,96%. Di lihat dari sudut pandang ekonomi, sebagian besar penduduk Kabupaten Cirebon merupakan golongan menengah-bawah. Sebesar 26,28% adalah keluarga Pra KS dan 36,09% keluarga KS I, hanya sebesar 15,84% dan 2% yang termasuk dalam golongan keluarga KS III dan keluarga KS III+. Begitu pula jika dilihat dari tingkat pendidikannya, hanya sebesar 7,5% dan 1,13% penduduk berpendidikan tamatan SLTA dan perguruan tinggi.
b. Ekonomi Regional
Sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002 adalah sektor pertanian (25,31%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (20,26%), dan sektor jasa-jasa (15,29%). Sektor industri pengolahan sendiri berada di urutan ke empat, yang berkontribusi sebesar 11,72% dengan nilai Rp 202.275,12 pada tahun 2002.
Jika ditinjau lebih jauh, industri rotan telah berkontribusi secara signifikan pada ekonomi regional Kabupaten Cirebon. Hal ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap oleh keberadaan industri rotan. Hampir sebesar 60.000 tenaga kerja bergerak di industri ini, baik di industri skala kecil, menengah, maupun besar. Selain itu, nilai ekspor industri rotan juga cukup besar. Dari tahun 1997-2003, nilai ekspor mencapai Rp 437 milyar.
c. Sarana dan Prasarana Wilayah
Di Kabupaten Cirebon, prasarana yang diperlukan dalam pengembangan wilayah masih terbatas. Hanya jalan dengan kondisi aspal yang sudah menjangkau sampai ke desa. Itu pun tidak menjangkau seluruh bagian desa. Pada beberapa desa dimana industri kecil dan rumah tangga berada, kondisi jalan masih tanah dan berbatu. Begitu pula dengan jaringan listrik yang juga terbatas. Kalaupun desa tersebut terlayani listrik, daya pelayanan listrik masih rendah dan terdapat “giliran” hari pelayanan. Permasalahan keterbatasan pelayanan juga terdapat pada air bersih dan jaringan telekomunikasi

B. Kondisi Internal
1. Spesialisasi
Spesialisasi bagi klaster diperlukan untuk penciptaan efisiensi serta mempunyai ciri khas dibandingkan dengan klaster lain. Pada lingkup industri, industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai spesialisasi, yaitu industri kerajinan dan meubel rotan. Sebaliknya jika ditinjau dari spesialisasi produk, industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mempunyai produk khusus rotan yang menjadi ciri khas. Namun jika ditinjau lebih jauh, industri rotan ini mempunyai kecenderungan akan terbentuknya spesialisasi produk, yaitu meubel rotan bergaya Eropa. Hal ini bisa dilihat dari jenis produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel rotan bergaya Eropa yang banyak dipesan oleh pemesan di luar negeri. Oleh karena itu, pada masa mendatang, pembentukan spesialisasi produk tidak banyak mengalami hambatan karena produk meubel bergaya Eropa mempunyai pasar yang jelas dan cukup baik, yaitu internasional. Tenaga kerja yang ada juga telah terlatih dalam membuat produk jenis tersebut.
2 . Kapasitas R&D dan Inovasi
Industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas dalam menciptakan temuantemuan baru. Inovasi yang ada baru pada tahap desain produk. Itu pun hanya berkembang pada produk yang di pasarkan ke luar negeri. Tingginya ketergantungan akan desain produk dari luar negeri menyebabkan inovasi desain yang dilakukan oleh industri rotan itu sendiri menjadi terbatas. Dari hasil pengamatan di lapangan, instituís yang membantu kegiatan R&D industri rotan hanya ada satu, yaitu DDO yang berdiri sejak tahun 2002 atas prakarsa JICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional dan Matsusitha Gobel, yang memberikan bantuan bagi pengusaha rotan masih sebatas pengembangan desain meubel. Akan halnya penelitian dan pengembangan pada teknologi dan proses produksi, belum ada institusi maupun personal yang membantu. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan dan penciptaan inovasi berikut dengan institusi pendukung, masih sangat terbatas. Padahal guna penciptaan suatu klaster, R&D dan inovasi sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen, penciptaan efisiensi produksi melalui innováis mesin-mesin produksi yang hemat energi, perluasan pasar melalui penciptaan produk baru, serta berdaya saing karena menjadi yang terdepan. Dengan adanya keterbatasan tersebut, industri rotan di Kabupaten Cirebon menjadi sulit berkembang menjadi statu klaster yang berhasil dan berdaya saing.
3. Tingkat Pengetahuan dan Keahlian
Pengetahuan dan ketrampilan yang ada dalam klaster dapat dilihat melalui kesesuaian tingkat pengetahuan dan keterampilan yang ada untuk memenuhi kebutuhan klaster. Menurut Bertini (1994) untuk menciptakan sistem industri lokal yang berhasil, tenaga kerja lokal harus memiliki spesialisasi yang tinggi dalam penggunaan teknologi serta memiliki pemahaman yang baik terhadap kebutuhan konsumen. Berdasarkan pengamatan di lapangan dengan responden di industri rotan, tenaga kerja yang ada memiliki spesialisasi keahlian yang tinggi dalam bidang produksi. Semua spesifikasi produk termasuk desain meubel dan anyaman yang diminta oleh pemesan, dapat terpenuhi. Namun di sisi lain, tenaga kerja tersebut mempunyai pengetahuan yang terbatas terhadap manajemen usaha, termasuk pembukuan dan manajemen ketenagakerjaan, serta pemasaran.
Salah satu penyebab rendahnya pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja adalah keterbatasan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki. Keahlian dalam proses produksi yang dimiliki oleh tenaga kerja bersumber dari turun temurun dan pengajaran dari lingkungan kerja. Saat ini belum terdapat institusi pendidikan yang memberikan pendidikan dan pelatihan khusus untuk pengembangan keahlian dalam menganyam rotan, yang tersedia hanya institusi khusus pengembangan desain meubel rotan, yaitu DDO. Sedangkan pengetahuan akan manajemen usaha, teknologi, dan pemasaran, dapat diperoleh dari bantuan pemerintah dan asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi pendidikan yang ada. Tabel 5.1. berikut menguraikan sumber-sumber pengetahuan yang dimiliki oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.1 Sumber Pengetahuan dan keahlian Industri Rotan
di Kabupaten Cirebon

P engatahuan dan Keahlian Sumber
Proses produksi Proses pengajaran turun temurun
Pengajaran pada lingkungan kerja, secara formal,seperti pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh perusahaan, ataupun nonformal melalui pengajaran oleh rekan kerja.
DDO
Teknologi -
Manajemen Usaha Pemerintah bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi
Perusahaan bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi
Asosiasi usaha bekerjasama dengan institusi
pendidikan tinggi
BDS
Pemasaran Pemerintah
Asosiasi usaha
BDS
Akibat yang dirasakan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan pengetahuan dan keahlian tersebut bagi industri skala kecil adalah industri tersebut menjadi sulit berkembang. Sedangkan bagi industri skala besar menengah, guna memenuhi kebutuhan pengembangan usaha, dilakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta perekrutan tenaga kerja yang berpendidikan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Tidak jarang, tenaga kerja yang direkrut berasal dari luar daerah Kabupaten Cirebon, bahkan pada tingkat manajerial dan teknisi permesinan di industri skala besar, tenaga kerja tersebut berasal dari luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa, tenaga kerja di daerah Kabupaten Cirebon belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan akan pengembangan klaster.

4. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kualitas SDM yang baik merupakan faktor penentu keberhasilan dari klaster, sekaligus merupakan ciri dari suatu klaster yang sukses. Klaster perlu berperan dalam pengembangan kualitas pendidikan dan keterampilan masyarakat di wilayah sekitarnya agar klaster memiliki sumber tenaga kerja yang berkualitas tinggi. Untuk itu, klaster harus mampu menarik minat masyarakat, terutama generasi muda berpendidikan, melalui berbagai kesempatan kerja yang ditawarkan. Tabel 5.2. berikut menggambarkan tingkat pekerjaan dan spesifikasi kebutuhan tenaga kerja yang ditawarkan oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Tabel 5.2 Tingkat Pekerjaan dan Kualifikasi Pendidikan yang Diperlukan
Bidang Pekerjaan Klaster Rotan Cirebon Kualifikasi
Produksi - Penganyaman
- Pembuatan rangka SD/SMP
- Perakitan
- Penyelesaian
- Supervisor SMU/PT
- Pengendalian Mutu
Manajemen - Administrasi
- Keuangan SMU/PT
- Humas
Pemasaran Penjualan SMU/PT
Litbang PT

Industri rotan skala kecil masih sangat terbatas dalam mengembangkan kapasitas SDM. Sistem pengelolaan usaha yang masih sederhana belum menawarkan spesifikasi pekerjaan yang beragam dan juga upah yang baik. Pada industri skala kecil, tenaga kerja yang diperlukan tidak harus berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mendorong masyarakat sekitar untuk lebih mengembangkan kemampuan diri agar bisa masuk dalam industri tersebut, karena untuk masuk ke dalam industri tersebut cukup hanya bermodalkan keahlian dalam menganyam dan membuat rangka rotan. Keterbatasan modal yang dimiliki oleh industri skala kecil juga mengakibatkan industri tersebut tidak melakukan usaha pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja yang dimiliki.
Sebaliknya, pada industri skala menengah hingga besar yang telah mengelola perusahaan dengan baik, telah menawarkan beragam tingkat pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih tinggi. Untuk tingkat manajerial misalnya, diperlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan strata satu ataupun dua. Upah yang ditawarkan tentu juga lebih baik. Dengan kondisi seperti ini, memaksa masyarakat yang tertarik bekerja di industri rotan untuk mengembangkan kapasitas dirinya agar sesuai dengan kebutuhan industri.
Dengan struktur industri rotan yang sebagian besar (87,92%) adalah industri skala kecil, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mampu mengembangkan sumber daya manusia yang ada.
5. Jaringan Kerjasama dan Modal Sosial
Kerjasama di dalam klaster dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu kerjasama antar perusahaan, kerjasama antara perusahaan dengan lembaga-lembaga pendukung, dan kerjasama antara perusahaan dengan pemerintah (Stamer, 2003).
C. Kerjasama Antar Perusahaan
Kerjasama antar perusahaan rotan terjadi dalam pola subkontrak. Menurut White (1989), pola subkontrak dapat terjadi dalam dua jenis, yaitu pola subkontrak industrial dan pola sub kontrak komersial. Pola sub-kontrak industrial merupakan pembagian proses produksi dimana produk-produk yang dihasilkan oleh subkontraktor merupakan bagian atau komponen dari proses produksi perusahaan prinsipal, sementara pada pola subkontrak komersial, produk-produk yang dihasilkan oleh sub-kontraktor merupakan produk jadi yang siap dipasarkan oleh prinsipalnya (White, 1989). Berdasarkan pengamatan, kerjasama antar industri rotan skala kecil menengah dengan industri skala besar pada umumnya terjadi dalam bentuk pola sub-kontrak industrial, dimana industri skala kecil dan menengah di Cirebon menghasilkan meubel setengah jadi (rangka meubel) untuk kemudian dilakukan finishing pada industri dengan skala yang lebih besar. Kerjasama internal industri skala kecil dan menengah itu sendiri masih terbatas. Bahkan tidak jarang diantara mereka terjadi persaingan harga untuk mendapatkan pesanan dari industri besar.
Kerjasama antar industri rotan juga dapat dilihat dari kegiatan asosiasi usaha yang ada. Asosiasi usaha adalah refleksi dari modal sosial yang ada dalam suatu klaster yang terbentuk dari adanya kemauan untuk saling bekerja sama antara usaha-usaha yang ada dalam suatu klaster. Rosabeth Kantor (1995) menyebut modal sosial sebagai “perekat sosial” yang menentukan relasi dan kualitas hidup di dalam industri. Asosiasi Industri Permeubelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) adalah asosiasi yang terkait langsung dengan industri rotan
Ditinjau dari sisi aktivitasnya, ASMINDO dapat dinilai memiliki modal sosial yang cukup baik dalam pengembangan industri di wilayahnya, sehingga meningkatkan daya tawar ASMINDO sebagai organisasi terhadap pelaku-pelaku lainnya dalam klaster. Sebagai contoh, pada tahun 2003, atas inisiatif dan pendekatan dari ASMINDO, pemerintah Kabupaten Cirebon membuat kesepakatan dengan dengan Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah untuk memperoleh rotan dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan bahan baku. Demikian pula pada Tahun 2004 tengah dilakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Gorontalo dan Palu dalam hal yang sama. Hal ini memperlihatkan telah munculnya kepentingan bersama (common interest) diantara anggota ASMINDO yang melahirkan dukungan terhadap jalannya kegiatan organisasi. Keterlibatan usaha dalam ASMINDO juga tampaknya diangap penting oleh pengusaha Hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota ASMINDO yang mengalami perkembangan yang signifikan, dari sekitar 60 unit usaha pada tahun 2001 menjadi 157 unit usaha pada tahun 2004. Beberapa responden yang terlibat di ASMINDO mengaku memeperoleh manfaat berupa informasi pasar dan kemudahan dalam melakukan pemasaran dari keterlibatannya dalam asosiasi. Namun demikian, keanggotaan ASMINDO masih bersifat ekslusif, dimana keanggotaannya terbatas hanya para eksportir yang notabene merupakan usaha skala menengah hingga besar.
Kerjasama antara industri rotan dengan industri hulu dinilai cukup baik. Seperti yang telah dijelaskan, untuk penyediaan bahan baku, industri rotan melalui asosiasi usaha dan dibantu oleh pemerintah, telah melakukan kerjasama dengan daerah penghasil rotan. Sedangkan kerjasama dengan industri hilir, hanya sebatas dengan industri perdagangan dan industri pengangkut barang. Industri perdagangan yang memasarkan produk rotan di pasaran nasional dirasakan kurang berperan secara optimal. Di Kabupaten Cirebon belum tersedia trading house yang memamerkan dan memasarkan produk meubel dan kerajinan rotan. Outlet-outlet pasar di Kabupaten Cirebon juga masih terbatas dan belum tersedia di kota-ktoa besar. Kalaupun ada, produk yang diperdagangkan hanya berkualitas yang menengah ke bawah dengan desain yang kurang menarik.
D. Kerjasama Antara Industri dengan Lembaga Pendukung
Kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung terjadi dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, serta pemenuhan modal usaha. Dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan, industri rotan bekerjasama dengan institusi pendidikan tinggi sebagai prakarsa program pemerintah dan lembaga bantuan pengembangan bisnis (BDS). Di Kabupaten Cirebon, belum tersedia institusi pendidikan tinggi yang memberikan fokus khusus mengenai pengembangan rotan. Institusi pendidikan tinggi yang ada baru berperan dalam hal manajemen usaha, dalam hal ini Universitas Pajajaran, Uniersitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Namun begitu terdapat DDO, institusi prakarsa JICA bekerjasama dengan Pusat Desain Nasional (PDN) dan Matsusitha Gobel yang memberikan pendidikan dan pelatihan untuk desain meubel rotan. Terdapat pula BDS Bina Mitra Usaha yang memberikan pelayanan konsultasi, pelatihan dan pendampingan, dan kontak bisnis, serta memberikan fasilitasi dalam bidang perluasan pemasaran, akses permodalan, pengembangan organisasi dan manajemen, dan penelitian dan pengembangan teknologi. Karena biaya yang harus dikeluarkan oleh tiap industri setiap menggunakan jasa BDS, maka sangat banyak industri rotan, terutama skala kecil, belum melakukan kerjasama dengan BDS. Oleh karena itu, BDS yang ada belum dapat berperan maksimal dalam pengembangan industri rotan di Kabupaten Cirebon.
Begitu pula dengan lembaga keuangan. Lembaga perbankan yang ada, yaitu Bank Mandiri, BTN, BCA, Bank Danamon, dan lainnya, belum berperan banyak dalam pengembangan industri rotan. Industri yang melakukan kerjasama dengan lembaga perbankan sebagian besar adalah industri rotan skala besar menengah. Industri skala kecil banyak yang belum mampu mengakses ke perbankan karena keterbatasan informasi dan birokrasi selama proses pengajuan permohonan peminjaman. Lembaga keuangan yang banyak membantu industri skala kecil adalah koperasi. Salah satunya adalah Koperasi Rukun Warga yang pelayanannya masih sebatas simpan pinjam antar anggota. Keterbatasan peran lembaga keuangan ini berakibat pada penanganan permasalahan permodalan yang banyak dialami oleh industri skala kecil dan menengah menjadi sulit teratasi
E. Kerjasama Antara Industri dengan Pemerintah
Selama ini, industri rotan banyak bekerjasama dengan pemerintah daerah. Perannya dalam membantu pengembangan industri rotan dinilai cukup signifikan. Diantaranya kerjasama antara ASMINDO dengan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku rotan. Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon menjadi fasilator dengan pemerintah daerah penghasil rotan. Kerjasama juga dilakukan dalam hal kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, melakukan pelatihan teknis produksi (tahun 2002) dan pelatihan manajemen usaha Dalam pelatihan manajemen usaha, pemerintah bekerjasama dengan lembaga pendidikan, seperti Universitas Pajajaran, Universitas Swadaya Gunung Jati, dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Untuk membantu pemasaran produk, Disperindag telah melaksanakan program pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran dalam negeri yang rutin diikuti diantaranya event PPE, PRJ, dan beberapa pameran lain seperti di Bandung dan Bali. Sedangkan untuk pameran luar negeri, Disperindag bekerjasama dengan pemerintah pusat dan BPEN dalam memberikan informasi dan memfasilitasi penyediaan stand dan cargo. Beberapa negara yang pernah diikuti diantaranya Dubai (tahun 2003), Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Brunei Darussalam (Maret 2004), dan beberapa negara di Eropa Timur. Selain melakukan pameran, Disperindag Kabupaten Cirebon juga memfasilitasi dalam kerjasama dengan atase perdagangan di luar negeri.
Adapun keterkaitan dan peran institusi dan industri pendukung industri rotan di Kabupaten Cirebon, dapat digambarkan sebagamana terlampir (Gambar 5.1).
Berdasarkan penjabaran-penjabaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan kerjasama telah terjadi diantara stakeholder yang terkait dengan industri rotan, dengan intensitas yang berbeda-beda. Intensitas kerjasama yang paling tinggi adalah kerjasama antara industri rotan dengan pemerintah. Selanjutnya adalah kerjasama antar industri rotan dinilai cukup intens, walaupun antar industri skala kecil dirasakan masih kurang. Sementara itu, kerjasama antara industri rotan dengan lembaga pendukung dinilai sangat kurang, terutama dengan lembaga keuangan dan industri perdagangan. Keterbatasan kerjasama ini tentu akan berdampak pada terhambatnya pengembangan klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon, khususnya dalam hal permodalan.
F. Semangat Kewirausahaan
Suatu klaster dapat dikatakan sebagai klaster yang dinamis ketika klaster tersebut berhasil mendorong perkembangan jumlah perusahaan yang ada. Perusahaan yang baru muncul adalah perusahaan yang didirikan oleh tenaga kerja yang sebelumnya pernah bekerja di perusahaan sejenis. Timbulnya jiwa wirausaha di tenaga kerja tersebut akhirnya mendorong tenaga kerja tersebut membuka perusahaan baru menjadi perusahaan komplementer atau kompetitor.
Dari data yang diperoleh, jumlah industri meubel dan kerajinan rotan di Kabupaten Cirebon cenderung mengalami peningkatan. Dari sekitar 850 industri di tahun 1997 berkembang menjadi 1.019 industri di tahun 2003. Penambahan ini bisa terjadi akibat proses pembelajaran yang turun temurun. Setiap anak yang berasal dari orangtua yang mempunyai usaha rotan, serta memperoleh keahlian akah hal tersebut, menjadi tertarik untuk membuka usaha baru. Begitu pula dengan tenaga kerja yang ada, ketika tenaga kerja tersebut mempunyai keahlian dan kemampuan yang cukup, tenaga kerja tersebut juga pada akhirnya membuka usaha baru. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa industri rotan di Kabupaten Cirebon mempunyai potensi terbentuknya klaster yang dinamis.
G. Kepemimpinan dan Visi Bersama
Pemimpin industri diperlukan untuk menggalang kerjasama dan pembentukan visi bersama diantara industri-industri lain. Adanya visi bersama membuat industri yang ada menjadi kuat untuk bersaing dengan industri di daerah lain.
Pembentukan visi bersama dalam industri rotan di Kabupaten Cirebon masih terbatas. Asosiasi usaha sebagai cerminan adanya kerjasama dan visi bersama, belum beranggotakan seluruh industri rotan yang ada, khususnya industri skala kecil. Bahkan di industri skala kecil tersebut terjadi persaingan harga yang justru menghambat perkembangan usaha. Sementara itu, industri rotan belum mempunyai pemimpin industri yang menjadi pemersatu dan pengarah pengembangan usaha. Keterbatasan ini menyebabkan industri rotan di Kabupaten Cirebon belum mampu menciptakan klaster yang saling bersinergi antara satu sama lain.
F. Kondisi Eksternal
1. Pasar dan Kompetitor
Secara umum terdapat tiga tujuan pasar bagi produk mebel dan kerajinan rotan Kabupaten Cirebon, yaitu pasar lokal, pasar antar daerah, dan pasar ekspor. Sebagian besar mebel dan kerajinan rotan yang diproduksi oleh klaster merupakan produk-produk yang berorientasi ekspor, antara lain Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Saat ini di Kabupaten Cirebon terdapat sekitar 157 eksportir rotan. Jika dilihat dari perkembangannya dari tahun 1997 hingga 2003, jumlah produk yang ditujukan bagi ekspor mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi persaingan yang sangat ketat terutama setelah pasar-pasar ekspor dibanjiri oleh produk-produk meubel dari negara lain seperti Cina dan Vietnam dalam hal harga dan kualitas produk. Adanya ekspor rotan mentah yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan negara Cina memperoleh bahan baku rotan dengan harga yang lebih murah. Dengan efisiensi tinggi, negara Cina bisa menghasilkan produk yang lebih murah. Di sisi lain, negara Cina kini telah membudidayakan rotan, sehingga kebutuhan rotan dengan berbagai ukuran dapat terpenuhi, dengan begitu bisa menghasilkan produk yang lebih baik dengan produk rotan dari Indonesia. Sebaliknya untuk pemasaran regional, terjadi peningkatan. Adapun persentase pemasaran produk menurut cakupan pemasarannya dapat dilihat pada gambar 5.2. di bawah ini.



Gambar 5.2 Persentase Pemasaran Produk Menurut Cakupannya
Tahun 1997-2003

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemasaran di pasar internasional adalah tidak adanya pesanan pada musim liburan di Eropa sebagai pasar utama. Kondisi ini terjadi sekitar 3 bulan setiap tahun, sehingga pada bulan-bulan tersebut industri terpaksa untuk merumahkan sementara para pekerjanya. Sedangkan kendala dalam pemasaran di pasar dalam negeri adalah terkait dengan minat masyarakat yang kurang menghargai produk meubel rotan. Di mata banyak masyarakat, meubel rotan adalah meubel kedua setelah meubel kayu karena dinilai mempunyai daya tahan yang kurang dibandingkan dengan meubel kayu. Daya beli masyarakat dalam negeri juga sebagian besar tergolong rendah. Oleh karena itu, produk-produk yang dipasarkan di dalam negeri sebagian besar berkualitas menengah-rendah dengan desain yang kurang menarik.
Ditinjau dari segementasi pasar, sebagian besar segment pasar industri rotan di Kabupaten Cirebon adalah pasar luar negeri yang masyarakatnya mempunyai daya beli yang cukup tinggi. Pemesan dari luar negeri itulah yang memesan produk berikut dengan desain dan spesifikasi produk, sehingga kualitas produk menjadi terjamin. Sebaliknya pada pasar dalam negeri, karena daya beli minat dan daya beli masyarakat yang kurang, maka produk yang dipasarkan berkualitas menengah-rendah dan desain yang monoton. Diversifikasi produk lebih banyak terjadi akibat permintaan pasar luar negeri. Jenis produk yang diminta memang tidak jauh seputar meubel, namun desain produk tersebut sangat bervariasi, tidak hanya terdiri dari rotan, namun juga dipadukan dengan material lainnya seperi kaca, busa, kayu, dan besi, sehingga menjadi meubel yang menarik.
2. Iklim Usaha
Kondisi nasional selama beberapa tahun tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi semua sektor usaha, termasuk meubel. Industri meubel mendapat ancaman terbesar justru dari dalam negeri sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun kasus pembalakan liar (illegal logging) serta ekspor kayu ilegal membuat industri meubel terancam karena kekurangan bahan baku. Begitu pula dengan rotan yang pernah diijinkan untuk diekspor ke luar negeri. Ironisnya, baik kayu maupun rotan, banyak diekspor ke negara kompetitor Indonesia sendiri, yaitu Cina. Namun sejak tahun 2001, ekspor rotan mentah kembali dilarang. Diharapkan kebijakan ini dipatuhi oleh semua pihak dan tidak terjadi ekspor rotan secara ilegal.
Berdasarkan kajian mengenai pemeringkatan daya tarik investasi di 200 kabupaten dan kota di Indonesia yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2003, dari 156 kabupaten yang diteliti, Kabupaten Cirebon menduduki peringkat ke-92. Semua faktor yang menarik investasi di Kabupaten Cirebon menduduki peringkat bawah. Faktor ekonomi sebagai faktor yang mempunyai peringkat terendah, yaitu peringkat 108, juga pada faktor sosial politik yang menduduki peringkat ke-96, dan faktor kelembagaan pada peringkat ke-69. Sebaliknya faktor tenaga kerja dan infrastruktur fisik mempunyai peringkat menengah, yaitu pada peringkat ke-27 dan ke-30. Menurut bebreapa responden, dalam melakukan usaha seringkali ditemukan peraturan perpajakan dan retribusi yang cukup memberatkan.





























BAB III
STRATEGI DAN RENCANA TINDAK

A. Kebijakan dan Strategi Umum
Klaster dapat dikembangkan dalam empat area, yaitu dalam bidang-bidang yang menjadi penentu daya saing sebuah klaster seperti yang dikemukakan oleh Porter (2001), yaitu : (1) aspek permintaan atau pasar, (2) aspek struktur, strategi, dan persaingan ; (3) aspek institusi dan industri pendukung; serta (4) kondisi faktor atau input. Pengembangan empat area tersebut memerlukan suatu kelembagaan pemerintahan yang efektif dan iklim usaha yang kondusif.
1. Aspek Permintaan/ Pasar
Permintaan pasar terhadap UKM pada umumnya sangat besar. Namun demikian, UKM pada umumnya masih bekerja secara individual sehingga permintaan pasar yang besar sulit untuk dipenuhi karena tidak adanya efisiensi kolektif. Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan pun sering tidak mampu memenuhi tuntutan pasar. Kebijakan dan strategi umum yang dapat dilakukan pemerintah dalam meningkatkan akses terhadap permintaan pasar adalah :
(1) Memfasilitasi perluasan akses pasar UKM
Strategi yang dapat dilakukan :
• Mendorong spesialisasi produk dalam industri
• Penguatan kemitraan dan kerjasama pemasaran antara industri skala kecil dan menengah dengan industri besar
• Memberikan insentif kepada usaha untuk berinovasi
• Memfasilitasi promosi dan pemasaran produk
• Mendorong kegiatan-kegiatan penelitian pasar (market researh) guna mencari orientasi dan sasaran pasar yang baru dan bermutu tinggi.
• Penyediaan fasilitas pemasaran (trading house, market center, dsb) untuk menciptakan rantai pemasaran yang lebih efisien.
• Mendorong peran Business Development Service dalam pemasaran produk
(2) Peningkatan Kualitas Produk
Strategi yang dapat dilakukan :
• Peningkatan keahlian dan teknologi untuk mendorong spesialisasi produk
• Memfasilitasi pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk.
• Mendorong penggunaan bahan baku lokal yang baik dan berkualitas
• Mendorong peran Business Development Service untuk meningkatkan kualitas produk.

2. Aspek Faktor Produksi
Aspek faktor produksi merupakan salah kendala utama yang banyak ditemukan dalam peningkatan daya saing klaster. Faktor prtoduksi meliputi SDM, bahan baku, modal, infrastruktur, dan teknologi. Kebijakan dan Strategi yang dapat diterapkan dalam peningkatan aspek faktor produksi adalah :
(1) Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan Tenaga Kerja
Strategi yang dapat dilakukan:
• Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pendidikan serta latihan untuk meciptakan tenaga kerja yang terampil
• Mendorong peran lembaga-lembaga pendidikan dan latihan dalam peningkatan keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja

(2) Peningkatan Teknologi Produksi
Strategi yang dapat dilakukan:
• Memfasilitasi penguatan linkage dengan perusahaan-perusahaan besar untuk mengupayakan alih teknologi.
• Memberikan insentif bagi modernisasi teknologi dan peralatan.
• Kerjasama pemanfaatan hasil-hasil penelitian dengan lembaga penelitian dan pengembangan atau universitas untuk meningkatkan kapasitas teknologi produksi.
• Mendorong peran lembaga litbang untuk meningkatkan teknologi produksi.
(3) Peningkatkan Ketersediaan Modal
Strategi yang dapat dilakukan:
 Memberikan bantuan permodalan kepada UKM
 Mendorong UKM untuk melakukan legalisasi usaha dan perbaikan manajemen usaha
 Mendorong peran lembaga intermediasi keuangan dalam penyediaan layanan kredit dan modal
(4) Menjamin Ketersediaan Bahan Baku
Startegi yang dapat dilakukan:
 Meninjau ulang kebijakan ekspor bahan baku dan menyusun kebijakan yang dapat menjamin pasokan bahan baku di dalam negeri.
 Mendorong penelitian dan pengembangan bahan baku alternatif
 Mendorong penggunaan bahan baku yang berkualitas.
 Penggunaan bahan baku lokal yang sesuai dengan potensi setempat

(5) Penyediaan sarana dan prasarana
Strategi yang dapat dilakukan :
 Memperluas akses kepada teknologi informasi untuk meningkatkan akses pasar.
 Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi pada lokasi-lokasi industri yang masih sulit diakses

3. Aspek Strategi, Struktur, dan Persaingan Usaha
Tujuan pengembangan klaster adalah untuk menghasilkan efisiensi kolektif. Hal ini tidak dapat dicapai oleh perusahaan secara individual, melainkan melalui keterkaitan (linkages) yang kuat antara perusahaan-perusahaan yang inovatif. Adanya keterkaitan antar perusahaan akan meningkatkan pembagian kerja dan mendorong kerja sama antar perusahaan termasuk penyebaran ide dan inovasi. Keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun kedepan (forward linkage) antarperusahaan atau bahkan dengan perusahaan yang lebih besar mendorong terjadinya produksi bersama (joint manufacture). Dalam kebanyakan industri di indonesia, perkembangan klaster masih berada pada tahap awal. Pemerintah perlu mengambil peran sebagai motivator, katalisator dan inisiator pengembangan jaringan serta kerjasama antar usaha sehingga tercipta tindakantindkan bersama (joint and collectibe action). Pemerintah perlu membangkitkan kondisi UKM agar tidak tergantung pada kapasitasnya yang terbatas tapi bekerja sama dalam kelompok untuk menjadi lebih kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan forum- forum serta pengembangan asosiasi secara partisipatif untuk menyediakan kepemimpinan dan koordinasi dalaam klaster. Namun demikian, secara bertahap peran ini sebaiknya dialihkan kepada pemimpin di sektor swasta (privat) seiring dengan menguatnya tingkat kerjasama dan modal sosial di dalam klaster sedangkan pemerintah cukup berperan dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi.
Beberapa kebijakan dan strategi untuk memperkuat kerjasama dan mendorong persaingan positif antar perusahaan antara lain :
(1) Peningkatan kerjasama dan jaringan antar usaha
Strategi yang dapat dilakukan:
 Mempromosikan kerjasama diantara UKM-UKM melalui pendekatan pasrtisipatif
 Mendorong peran asosiasi usaha sebagai basis kerjasama kolektif para pelaku usaha.
 Memfasilitasi asosiasi usaha untuk melakukan aktivitas-aktivitas bersama (collective action)
(2) Penciptaan iklim kompetisi yang sehat
Strategi yang dapat dilakukan:
 Melakukan pembinaan serta memeperkuat jaringan pasar UKM agar tidak terjadi persaingan harga yang kontra-produktif.
 Meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap Hak kekayaan intelektual (HAKI).
 Mendorong dan memfasilitasi pendaftaran paten, merek, dan hak cipta produk produk yang dihasilkan oleh usaha.
 Memfasilitasi keberadaan lembaga penyedia layanan HAKI
(3) Mendorong kepemimpinan dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan:
 Memberikan insentif kepada UKM-UKM yang berpotensi di dalam klaster.
 Memfasilitasi UKM-UKM yang berpotensi untuk berperan dalam asosiasi usaha.

4. Aspek Institusi dan Industri Pendukung
Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai kegiatan penelitian, pendidikan, dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan UKM. Dalam penyelenggaraan kegiatan ini, pemerintah perlu melakukan kolaborasi dengan sektor usaha dan lembaga pendukung, misalnya BDS, perguruan tinggi, industri hilir, industri pemasok, dan konsultan. Beberapa Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat aspek institusi dan industri pendukung antara lain :
(1) Meningkatkan peranan institusi pendukung dalam klaster
Strategi yang dapat dilakukan :
 Menciptakan kemitraan antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembagalembaga pendukung dalam meberikan layanan kepada usaha di dalam klaster.
 Memfasilitasi poenyebaran informasi mengenai layanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendukung kepada usaha.
 Memebrikan insentif kepada usaha skala kecil dan rumah tangga agar dapat mengakses layanan yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendukung.
(2) Meningkatkan keterkaitan antara usaha dengan inudstri hulu dan hilir
Strategi yang dapat dilakukan :
 Memberikan insentif dan kemudahan usaha di dalam klaster untuk menarik industri-industri pendukung untuk melakukan investasi.
 Memfasilitasi forum kerjasama dan komunikasi antara usaha dengan industri industri di sektor hulu dan hilir
5. Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan pemerintah sangat menentukan pengembangan suatu klaster industri, terutama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Pengembangan klaster bergantung kepada kemauan politik dan dukungan dari pemerintah dalam mengembangan perekonomian lokal. Kebijakan dan strategi yang dapat dilakukan adalah
(1) Menciptakan Iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan klaster
Strategi yang dapat dilakukan :
 Menyederhanakan peraturan di sektor ketenagakerjaan, industri, dan perdagangan sehingga mendukung pengembangan klaster.
 Mengupayakan kebijaksanaan perpajakan selektif terhadap produk tertentu, dengan menghilangkan pajak berganda dan menetapkan pajak pada produk akhir (PPN), bukan pada bahan baku,
 Memberikan insentif, subsidi dan kemudahan bagi investasi.
 Mengupayakan keterpaduan program dan langkah implementasinya yang terfokus pada peningkatan daya saing produk nasional terhadap produk impor.
 Menjaga kepastian hukum dan melakukan penegakan hukum,
 Memperbaiki mekanisme dan prasarana sarana tataniaga, serta menghilangkan adanya monopoli perdagangan, kartel ataupun monopsomi.
(2) Menciptakan kelembagaan pemerintah yang efisien dan efektif
Strategi yang dapat dilakukan :
 Mengupayakan peran efektif sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pengembangan iklim usaha yang kondusif serta memberantas tegas terhadap penyelundupan produk impor.
 Memperbaiki dan meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah di setiap level pemerintahan
 Menyederhanakan prosedur admininstratif dan menghindari birokrasi yang berbelit-belit untuk mendorong kemudahan usaha untuk melakukan investasi
 Menegakkan good-governance dalam praktek kepemerintahan
 Menghindari peraturan-peraturan daerah yang menghambat investasi


B. Strategi dan Rencana Tindak Pengembangan Klaster di Kabupaten Cirebon

Klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon pada saat ini banyak menghadapi ancaman yang datang dari luar sementara kondisi klaster industri itu sendiri masih banyak mempunyai kelemahan.

Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Mempunyai potensi terbentuknya spesialisasi produk meubel bergaya Eropa Ketersediaan lembaga R&D masih terbatas
Tingkat keahlian tenaga kerja dalam proses produksi cukup tinggi. Kegiatan inovasi masih sebatas desain produk
Kerjasama dengan pemerintah dan perannya terhadap pengembangan usaha dinilai baik. Tingkat pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja masih terbatas dalam manajemen usaha dan pemasaran
Kerjasama yang cukup baik terjadi antara industri skala besar dan menengah yang tergabung dalam asosiasi. Struktur dan manajemen industri yang ada belum banyak mengembangkan kapasitas SDM
Sistem pengajaran keahlian mendorong tenaga kerja dan masyarakat untuk mendirikan usaha baru dan menjadikan industri rotan terus bertambah, sehingga berpotensi menjadi klaster yang dinamis dan berdaya saing karena tidak terjadi monopoli usaha. Lembaga pendukung belum bekerjasama dengan baik, sehingga perannya masih kurang dirasakan untuk pengembangan usaha.
Kerjasama antar pelaku industri kecil dinilai sangat kurang, bahkan terjadi persaiangan yang kurang sehat
Belum terdapat pimpinan industri
Visi bersama antar pelaku usaha masih terbatas, hanya ada dalam asosiasi usaha
Peluang (O) Ancaman (T)
Pengembangan produk meubel yang berkualitas Persaiangan di tingkat internasional dalam hal harga dan kualitas
Keputusan Presieden akan pelarangan ekspor rotan membuka peluang untuk pemenuhan kebutuhan rotan Kelangkaan rotan akibat ekspor rotan ilegal
Industri sulit berkembang akibat iklim usaha yang kurang mendukung
Strategi yang diambil dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kondisi internal guna mempersiapkan diri menghadapi ancaman dari luar, guna mewujudkan suatu klaster yang berhasil. Berdasarkan faktor kelemahan dan faktor ancaman yang dimiliki oleh industri rotan di Kabupaten Cirebon, maka banyak langkah yang harus ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang ada. Untuk itu, diambil beberapa strategi prioritas yang mempunyai keterkaitan dengan banyak hal, yaitu:
1. Penguatan kerjasama
Selama ini, stakeholder yang terkait dengan industri rotan di Kabupaten Cirebon berjalan masing-masing, belum mempunyai visi bersama. Peningkatan kerjasama menjadi salah satu prioritas strategi pengembangan klaster karena klaster industri rotan tidak akan berhasil jika tidak terjadi kerjasama yang baik antar stakeholder. Produk pemesanan tidak akan selesai diproduksi tepat waktu jika tidak ada kerjasama antara industri besar pemberi kontrak dengan industri kecil menengah yang melaksanakannya. Proses produksi akan terhambat jika lembaga keuangan tidak membantu memberikan kredit permodalan. Oleh karena itu, agar proses kerjasama dapat terlaksana dengan baik, langkah yang dilakukan adalah memfasilitasi pembentukan “Unit Kerjasama Klaster”, suatu institusi yang khusus mengelola klaster industri rotan di Kabupaten Cirebon. Anggotanya merupakan perwakilan dari industri rotan skala kecil, menengah, dan besar dan industri terkait dengan rotan di bagian hulu dengan hilir, serta perwakilan dari pemerintah, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, serta lembaga bantuan pengembangan bisnis. Institusi tersebut berfungsi sebagai koordinator, pengambil keputusan, wadah informasi, serta fasilitator terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di lintas pelaku. Institusi ini juga bertugas untuk merumuskan visi dan misi bersama, serta kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan guna mencapai visi tersebut.

2. Spesialisasi produk
Spesialisasi diperlukan bagi klaster karena dengan adanya spesialisasi produk rotan berarti mencapai efektifitas serta mempunyai ciri khas dibandingkan dengan produk rotan dari daerah lain. Penentuan spesialisasi menjadi strategi yang diprioritaskan karena terkait dengan pemasaran produk dan nilai tambah yang dihasilkan oleh produk itu sendiri. Industri rotan di Kabupaten Cirebon diarahkan kepada spesialisasi meubel rotan bergaya Eropa. Hal ini tidak sulit bagi industri rotan di Kabupaten Cirebon karena selama ini produk yang dihasilkan sebagian besar adalah meubel bergaya Eropa. Produk tersebut juga telah mempunyai pangsa pasar yang jelas, yaitu internasional yang mempunyai daya beli yang tinggi. Dengan harga jual yang baik, maka pengusaha industri rotan dapat memperoleh keuntungan yang memadai, dengan begitu usaha menjadi berkembang dan kesejahteraan tenaga kerja juga dapat meningkat. Terjadinya peningkatan usaha di industri rotan sebagai industri inti, akan berdampak pada peningkatan usaha di industri hulu dan hilir.
3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting bagi pengembangan usaha dan klaster itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu prioritas strategi karena manusialah yang menjadi penggerak, pemberi keputusan, dan pelakui setiap kegiatan yang ada dalam klaster. Usaha tidak akan berkembang dengan baik jika pelaku usaha tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan usahanya itu sendiri, mempunyai pengetahuan yang terbatas akan manajemen usaha dan pemasaran, juga mempunyai keterbatasan kemampuan dalam menggunakan dan mengembangkan teknologi.
4. Penciptaan iklim usaha yang kondusif
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh KPPOD, Kabupaten Cirebon Belem memiliki iklim usaha yang baik. Penciptaan iklim usaha menjadi strategi prioritas karena terkait dengan pengembangan usaha. Peraturan, birokrasi, potensi SDM, dan ketersediaan infrastruktur, diperlukan untuk penciptaan efisiensi, sedang keamanan menentukan keberlangsungan usaha di suatu wilayah. Dengan iklim usaha yang kondusif, selain usaha menjadi berkembang dengan baik, juga akan menarik pelaku usaha dari daerah/negara lain untuk melakukan investasi pada klaster, sehingga membantu permasalahan permodalan yang banyak dihadapi oleh banyak industri skala kecil dan menengah. Untuk mewujudkan strategi prioritas tesebut, disusun rencna tindak pengembangan klaster seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 6.2.
Tabel 6.2 Rencana Tindak Pengembangan Klaster Industri Rotan
di Kabupaten Cirebon

No Rencana Tindak Sasaran Pelaku Terkait
1 Penguatan Kerjasama Terjadinya kerjasama yang kuat antara pelaku-pelaku yang terkait dengan klaster, sehingga terwujud sinergitas guna mencapai satu visi bersama. - Industri rotan di semua st ruktur
a Pembentukan ’Unit Bersama Klaster’ diantara stekaholder klaster - Industri pendukung (pembeli,pemasok, dll)
b Penyusunan visi bersama guna pengembangan klaster industri rotan - Pemerintah (Bappeda, Dinas)
c Penyusunan kebijakan dan program - Lembaga keuangan
Lembaga pendidikan dan pelat ihan
Lembaga R&D
2 Pembentukan Spesialisasi Produk - Industri rotan di semua st ruktur
a Mengadakan penelitian pasar a Teridentifikasinya pasar produk terspesiliasai - Industri pendukung (pembeli, pemasok, dll)
b Fasilitasi pameran dan kontak dagang di dalam dan luar negeri b Terbukanya peluang pasar baru - Dinas Perindust rian dan Perdagangan
c Fasilitasi out let -out let pemasaran di kota-kota besar di dalam negeri c Terwujudnya pemasaran produk dengan baik di dalam negeri - Dinas Koperasi dan UKM
d Sosialisasi dan fasilitasi proses hak paten produk d Terciptanya iklim persaiangan yang sehat , serta mendorong terwujudnya inovasi - Lembaga keuangan
e Penyediaan prasarana dan sarana telekomunikasi, termasuk teknologi informasi e Tersedianya prasarana dan sarana telokomunikasi guna menunjang efisiensi pemasaran - Lembaga pendidikan dan pelatihan
f Bantuan penyediaan kredit ekspor f Tersedianya modal yang
membantu industri untuk
melakukan ekspor produk - Lembaga R&D
3 Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
a Membangun pusat /balai pendidikan dan pelat ihan khusus untuk indust ri rotan di setiap sent ra indust ri rotan. a Tersedianya sarana pendidikan
dan pelat ihan khusus indust ri
rotan Industri rotan di semua st ruktur
b Memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelat ihan di semua bidang, mulai dari peningkatan keahlian dan keterampilan, desain produk, pengenalan teknologi, manajemen usaha termasuk pembukuan, pemasaran, hingga pemahaman akan HaKI. b Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kebutuhan pengembangan klaster Dinas Perindustri dan Perdagangan
c Memfasilitasi kerjasama antara industri rotan dengan inst itusi pendidikan dan pelat ihan yang terkait . c Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan indust ri Dinas Tenaga Kerja


d


Memfasilitasi kerjasama antara indust ri
rotan skala besar dengan skala kecil dan menengah dalam hal pengenalan teknologi, manajemen usaha, dan pemasaran.
d
Terwujudnya sumber daya manusia yang memenuhi kualif ikasi kebutuhan indust ri
Lembaga pendidikan dan pelat ihan
4 Penciptaan iklim usaha yang kondusif guna kelancaran pelaksanaan dan pengembangan usaha, terutama dalam menarik investor untuk berinvestasi di industri rotan Industri rotan di semua st ruktur
Pembentukan regulasi yang mendukung perkembangan usaha Terwujudnya regulasi yang
mendukung pengembangan usaha, serta hilangnya regulasi yang menghambat pengembangan usaha Bappeda
Pembentukan rencana bisnis indust ri rotan Tersedianya arah dan kebijakan pengembangan bisnis rotan yang jelas bagi para investor Dinas Perdagangan dan
Perindust rian
Peningkatan pelayanan aparatur terhadap dunia usaha Terwujudnya ef isiensi dan efekt ivitas dalam membuat perijinan usaha Dinas Pendapatan Daerah
Peningkatan keamanan wilayah Terwujudnya rasa aman bagi pelaku usaha dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha Badan Penanaman Modal Daerah
Pembentukan rencana bisnis indust ri rotan

permasalahan pendidikan di aceh pasca mou helsinki

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peristiwa yang menimpa provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 itu memang sangat memprihatinkan. Duka yang teramat mendalam bagi bangsa Indonesia , selain memakan korban jiwa yang sangat besar , yakni sekitar 200 ribu jiwa manusia, berbagai kerusakan fasilitas umum, fasilitas sosial dan infrasuktur lainnya menbuat Aceh menjadi suatu daerah yang masuk dalam kategori kritis dan membutuhkan penanganan segera.

Dari perjalanan kurun waktu yang ada, terdapat pula kejadian yang sangat mendukung proram kegiatan di bumi serambi Indonesia yakni dengan pulihnya kondisi situasi keamanan daerah dan masyarakat Aceh dengan ditandatanganinya MOU Helsinki yang mengakhiri konflik berkepanjangan antara pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Indonesia (RI) pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan yakni berupa penanganan-penanganan sarana dan prasarana mendasar agar rutinitas sehari-hari msayarakat Aceh dapat mulai berjaan kemabali. Hal ini berdasarkan padada rencana besar (grand strategy) dalam rangka rehabilitasi dan merontuksi daerah Aceh ini. Dalam hal ini memiliki orientasi yang bertujuan untuk menjadikan wilayah ini menjadi suatu wilayah yang maju dan mampu mensejahterakan seluruh komponen dan lapisan masyarakatnya.

Dimana grand strategy ini dikonsep oleh pemerintah pusat dan langsung dipimpin sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yodoyono, tehnis pelaksanannya dikerjakan oleh Bappenas yang sampai sekarang masih terus berjalan dan tinggal dalam kurun waktu satu tahun lagi proses kegiatan rehabilatasi dan rekontruksi ini berjalan. Pada poelaksanaan rencana pemerintah itu sendiri banyak mendapat support dari berbagai pihak yang ingin ikut berperan serta dalam proses pemulihan Aceh, bahkan dikalangan investor dari luar negeri banyak yang menawarkan diri untuk berpartisipasi dalam proyek kegiatan ini, terutama untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur .

Akan tetapi dari sekian peluang yang ada, memunculkan kekhawatiran yang menghantui masyarakat Aceh, yakni dengan adanya kekhawatiran bahwa latar belakang budaya dan reigi masayarakat Aceh akan terkikis habis dengn rencana yang ada. Karena sesungguhnya hari ini adalah masa-masa kemunduran Aceh. Masa dimana kita terpuruk di bidang politik (depolitisasi), ekonomi (eksploitasi), budaya (pelumpuhan budaya), dan juga agama (sekularisme). Aceh telah kehilangan semua identitasnya dalam bidang-bidang tersebut. Hari ini adalah juga masa dimana Aceh berhadapan dengan konflik (sosial) yang sangat panjang, yang menyebabkan hilangnya ribuan nyawa manusia dan banyak harta benda. Dalam masa-masa ini juga potensi sumber daya manusia Aceh terus berkurang, Aceh kehilangan pemimpin-pemimpin cerdas, Aceh juga kehilangan ilmuan-ilmuan. Kemunduran ini juga ternyata turut menghilangkan adat dan identitas yang selama ini sangat melekat yaitu Islam.[1]

Fakta yang tidak terbantahkan adalah pendidikan kita tidak ada landasan teorinya, tidak ada perencanaan, kita mencoba menwujudkan impian cet langet dan mempraktekkannya dalam seluruh jaringan saraf kita, urat nadi dan nafas kehidupan. Tanpa perencanaan dan teori dalam arti seperangkat alasan yang rasional, konsisten dan saling berhubungan. Maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan meuka lheuh na.

“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”. (Dr. Gunning yang dikutip Langeveld 1955).

Sewajibnya, hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi anak didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu,. Padahal sebenarnya terdapat peluang yang dapat membuat Aceh menjadi suatu kawasan yang lebih maju,bhakan dapat menjadi kawasan internsional.

Hal senada juga dikemukakan oleh Ir. Abdul Alim Salam, MSTR, ketua pusat Pengkajian Perencanan Dan pengambangan Kota, Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAI) DKI Jakarta. Menurutnya Aceh merupakan salah satu wilayah Indonesia yang paling yang berada di Selat Malaka. Kawasan yang akan terdukung oleh segera dibangunya Terusan Kra diperbatasan antara Malasyia dan Thailand, dengan adanya terusan Kra itu Aceh akan lebih cepat ter-connect dengan jalur yang langsung menghubungkannya dengan negara-negara maju dan potensial di Asia. Yaitu Jepang, Korea jua Cina, selain itu juga Aceh dapat menjadi kawasan internasional dengan beberapa kotanya yang dapat ditonjolkan dan dioptimalkan atau disipkan menjdai kota-kota internasional, misalnya Banda Aceh, Sabang, Meulaboh seperti layaknya Cina dengan kota-kota brunya seperti Shezen, Shanghai dan Guang Zhou..

Peluang aceh menjadi kawasan internasional, selain ditunjang dari sisi geografisnya, juga didukung potensi kekayan alm yang sangat besar, seperti yang diktakn Prof. Dr. Dididk J Rachbin bahwa Aceh bukanlah gugusan ekonomi terbelakang, melainkn daerh yng mempunyai potendi sumber daya alam yang besar, sehingga prospek keuntungan banyak terdapat disana.

Berangkat dari potensi yang dimiliki Aceh , maka dapat membuka wacana dan pemikiran terhadap pelaksanaan pembangunan dengan mendasarkan pendidikan sebagi pondasi utama seperti di kawasan timur tengah yang menjadikan daerah internasional yang maju , akan tetapi nilai-nilai keislmannya tetap dapat berjalan dengan baik

Gambaran Umum Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terletak di ujung barat laut Sumatera (2o – 6o Lintang Utara dan 95o -98o Bujur Timur) dengan ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 57.365.57 Km2 (12,26 % dari luas pulau Sumatera) dan sekaligus terletak pada posisi strategis sebagi pintu gerbang lalu lintas perdagangan dan kebudayan yang menghubungkan belahan dunia timur dengan barat.

Daerah ini memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan sebagian besar wiayahnta merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung seluas 26.440,81 dan hutan budidaya seluas 30.924,47 Km2 . Aceh memiliki beraneka ragam kekayan sumber daya alam antara lain minyak dan gas bumi, pertanian, industri, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kakao, kopi, tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum(logam, batu bara, emas dan mineral lainnya).

Provinsi NAD terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 257 Kecamatan, 693 Mukim, 112 Kelurahan dan 6.219 desa dan secara topografi Provinsi NAD memiliki 45% daratan dan kurang lebih 55 % perbukitan dengan ketinggian rata-rata 125 meter dari atas permukan air laut.



Dasar Pemikiran

Pendidikan merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Mulai dari kandungan sampai beranjak dewasa kemudian tua, manusia mengalami proses pendidikan yang didapatkan dari orang tua, masyarakat, maupun lingkungannya. Pendidikan bagaikan cahaya penerang yang berusaha menuntun manusia dalam menentukan arah, tujuan, dan makna kehidupan ini. Manusia sangat membutuhkan pendidikan melalui proses penyadaran yang berusaha menggali dan mengembangkan potensi dirinya lewat metode pengajaran atau dengan cara lain yang telah diakui oleh masyarakat.

Pendidikan sebagai hak asasi setiap individu anak bangsa telah diakui dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan. Sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka Mencerdaskan Kehidupan Bangsa yang diatur dengan Undang-undang. Oleh karena itu, seluruh komponen Bangsa baik orang tua, masyarakat, maupun Pemerintah bertanggung jawab mencerdaskan Bangsa melalui pendidikan. Hal ini adalah salah satu tujuan bangsa Indonesia yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 alinea IV.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional mempunyai visi agar terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa. Hal itu dilakukan untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia supaya berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Harapan Penulis melalui Opini ini dapat ikut serta membantu membuka wacana para orang tua, Mahasiswa, dan Pendidik dalam rangka mensosialisasikan sekaligus menyebarluaskan produk peraturan perundang-undangan “ bahwa pada hakikatnya pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Orang Tua, dan Masyarakat di daerah Nanggroe Aceh Darussalam pada khususnya dan khalayak luas.

kat.________________________________________________________________________________________________ Selaras dengan perkembangan tuntutan terhadap kualitas pelayanan dan hasil pendidikan, maka sudah selayaknya setiap komponen melakukan reposisi yang mengarah kepada aspirasi dalam bentuk partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah yang berkualitas. Bentuk partisipasi masyarakat dapat dihimpun sacara terorganisasi melalui suatu wadah yang disebut DEWAN SEKOLAH sebagai mitra kerja sejajar dengan Sekolah (SD/SLTP/SMU/SMK).

UUD 1945 BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Pasal 31

(1)

Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2)

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3)

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

(4)

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5)

Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32

(1)

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

(2)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

BAB II

PERMASALAHAN DUNIA PENDIDIKAN

Kontek Permasalahan Global Dunia Pendidikan

Pendidikan nasional yang dijalankan di Indonesia memiliki tujuan, salah satunya yakni mencerdaskan bangsa, hal ini merupakan sebagai tanggung jawab yang sangat besar bagi keluarga, sekolah dan masyarakat juga pemerintah untuk dilaksanakan. Sampai ssat ini belum ditemukan pola pendidikan yang tepat bagi siswa, terbukti dengan mulai dari tingkat prasekolah sampai engan pendidikan tinggi. Pendidikan itu berada jantung masyarakat, karena pendidikan merupakan kekuatan potensial guna membebaskan manusia dari berbagai perbudakan dan memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Pendidikan membantu manusiamemahami tentang apa yang dipelajari oleh manusia mengenai dirinya, membantu menempatkan keberadaan mereka dalam kontek yang tepat, membantu mereka dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan atau mengambil keputusan mengenai masa depan mereka sendiri.

Kita menyadari dalam melaksanakan program pendidikan kita terjebak dalam kegiatan rutin persekolahan, hal ini di karenakan oleh “kultur pendidikan”, umumnya di Indonesia rata-rata masih sangat lemah. Minimnya peran serta masyarakat (PSM)untuk mendukung kegiatan maupun pengembangan program pendidikan. Publik masih menganggap program pendidikan merupakan tanggung jawab Pemerintah semata-mata. Di samping itu, visi masyarakat tentang eksistensi pendidikan juga di pahami sekedar proses persekolahan semata-mata. Lemahnya visi pendidikan dapat dilihat pada sisi lemahnya kultur persekolahan (school culture) yang sesungguhnya sering diperbincangkan berbagai kalangan masyarakat dan para ahli dunia pendidikan. School culture sesungguhnya juga tidak dapat di pisahkan dari kegiatan sekolah. Pendidikan memiliki hubungan sinerjis, lembaga pendidikan, masyarakat, budaya dan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat. Pendidikan sesungguhnya bukan kegiatan tersendiri, sebagai semata-mata urusan sekolah dan administrasi sekolah, karena menyangkut aspek yang luas tanggung jawab besar masyarakat.

Imajinasi masyarakat masih menganggap pendidikan semata-mata tanggung jawab Pemerintah memiliki dampak pada partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pendidikan. Pendidikan secara filosofis memiliki visi dan misi membentuk tatanan nilai. Konsep pendidikan yang bebas dari konsep nilai akan mengarah kepada sasaran pengembangan sektor pendidikan sebagai komoditas. Sehingga program pendidikan seolah-olah lepas dari tanggung jawab social/public, maka publik tidak memiliki dukungan terhadap persoalan yang dihadapi lembaga sekolah. Ketika asumsi umum bahwa program pendidikan semata-mata masalah komoditas, dan hanya direalisir pada batas kegiatan sekolah saja, sehingga membangun konsep-konsep pendidikan secara terintegrasi seperti apa yang seharusnya diwujudkan, hampir tidak pernah ada dalam kenyataan.

Kondisi dilematis ini telah membentuk warna dan pola pembangunan pendidikan di Aceh dalam enigma dan merupakan jalan panjang yang harus di tangani secara serius, dan hal ini tidak dapat di selesaikan hanya dengan tambal sulam, dan semata-mata terfokus pada usaha memperbaharui fasilitas gedung sekolah sebagai wujud perbaikan mutu pendidikan. Bangun Infrastuktur apa bangun SDM ?

"Ternyata moderenisasi penyelenggaraan program pendidikan terjebak dalam ideologi kapitalisme sistem pendidikan semata" (Freire : 1998)

Pemerintah, swasta dan masyarakat perlu mengembangkan konsep-konsep pelaksanaan program dan penyelenggara pendidikan yang mampu menampung partisipasi masyarakat dalam mengembangkan program pendidikan yang ideal sebagai proses kebudayaan, diharapkan melalui konsep tersebut program pendidikan, setidaknya dapat menjawab kelemahan sistim pendidikan secara bertahap. Untuk melerai benang kusut permasalahan pendidikan di Aceh melalui pendekatan program akselerasi telah banyak di lakukan, namun belum menunjukkan jawaban atas permasalahan yang ada. Program perbaikan mutu hanya melihat aspek pembangunan fisik semata seperti program akseleasi yang dilakukan lembaga sekolah tertentu dengan memiliki keistimewaan fasilitas, baik dalam pengadaan, misalnya pendirian gedung ekseklusif maupun tingkat implementasinya dengan biaya mahal. Ternyata moderenisasi penyelenggaraan program pendidikan terjebak dalam ideologi kapitalisme sistem pendidikan semata, demikian kritik tokoh pendidikan Brazil dalam bukunya Sekolah Kapitalisme yang licik (Freire : 1998)

Di Indonesia khususnya di beberapa kota besar, awalnya masyarakat agak sedikit bangga dengan munculnya lembaga-lembaga sekolah modern, dengan meningkatkan sarana fisik yang mewah seperti ruang belajar dilengkapi dengan sarana pendingin ruangan (AC), memiliki laboratium mewah,computer dan berbagai sarana dan prasana modern lainnya. Fenomena tersebut ternyata tidak dapat menjernihkan potret buram dan menjawab persoalan pembangunan system pendidikan nasional . Berbagai sekolah unggul yang bergengsi yang muncul ditanah air, oleh masyarakat dianggap sebagi fenomena baru dengan harapan membawa perubahan baru, tentang usaha perbaikan mutu dan peningkatan standar pendidikan nasional.

Akan tetapi kehadiran lembaga-lembaga sekolah elit ditengah masarakat kota di Indonesia menciptakn konflik dan polarisasi baru dimana kelompok elit kelas menengah keatas sebagai kelompok masyarakat yang dapat menikmatinya, karena mahalnya harga pendidikan mewah tersebut. Kondisi kapitalisasi penyelenggaran sektor pendidikan dalam prespektif tersebut telah menimbulkan masalah baru, sehingga terjadi polarisasi baru ditengah-tengah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan memperoleh pendidikan sebagai wahana publik. Hanya kalangan masyarakat tertentu yang dapat menikmati kebutuhan akan pendidikan yang baik, bahkan lembaga sekolah tertentu akhirnya menjadi lembaga elit ditengah-tengah masyarakat yang umumnya sulit mendapatkan kesempatan memeperoleh pendidikan.

Perlu adanya sinerji atau kersama khususnya dalam membangun system pendidikan atas dasar kebersamaan dengan upaya mencari solusi yang bersifat konsektual yakni antara lembaga seperti : Pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi-industri dan lembaga lain sebagai usaha untuk menemukan konsep-konsep dan menciptakan program pendidikan yang bermutu guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Permasalahan Dunia Pendidikan di Aceh

Peran pendidikan memiliki posisi strategis sebagai investasi sumberdaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya, sekaligus untuk mewujudkan kompetensi secara manusiawi dan profesional di bidangnya seiring dengan kemajuan pengetahuan, sains dan teknologi. Namun masalahnya, persoalan klasik di dunia pendidikan, seperti kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan dan rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, hingga kini masih menghantui dunia pendidikan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari jumlah angka pengangguran yang cenderung semakin meningkat di Indonesia, yang kenyataannya tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya lapangan kerja. Namun adanya perbedaan yang cukup besar antara hasil pendidikan dan kebutuhan kerja.

Fenomena seperti gambaran di atas, besar kemungkinan terjadi untuk wilayah Aceh, dimana sektor pendidikannya cukup memprihatinkan. Kondisi ini semata-mata bukan hanya dipengaruhi oleh masalah teknis dan non-teknis pihak penyelenggara, tetapi lebih disebabkan oleh faktor eksternal

Kondisi perkembangan Aceh yang hamper tiga dasawarsa (28 tahun) ditengah kancah konflik yang berkepanjangn telah memperkeruh dan akahirnya lembaga pendidikan menjadi sasaran , seperti terjadinya pembakaran lebih dari 200 gedung sekolah. Untuk memenuhi tujuan yang dimaksud, perlu adanya sinergi atau kerja sama khusus dalam membangun system pendidikn atas dasar kebersaman dengn upaya mencari olusi yang bersifat konsektual yakni antara lembaga seperti pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat , perguruan inggi –indusdtri dan lembaga lain sebagai usaha untuk menemukan konsep-konsep dan menciptakan program pendidikan yang bermutu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Media masa telah melaporkan lebih dari ratusan sekolah di aceh dibakar oleh orang tidak dikenal. Demikian juga dengan kondisis konflik yang berkepanjangan dimana para tenaga pengajar banyak menjadi korban konflik, sehingga pelaksanan program pendidikan di Aceh mengalami ketertinggalan dari standar mutu yang ditetapkan pemerintah pusat atas dasar pemberlakuan instrument keberhasilan tingkat nasional seperti UAN, Bencana gempa bumi dan Gelombang Tsunami di Aceh dan sekitarnya telah membawa dampak demikian besar terhadap pelaksanan program pendidikan di Aceh. Dimana sebelum bencana alam yang emikian dasyat , pendidikan di Aceh sedang mengalami proses transisi pemulihan, dimana ratusan gedung sekolah dibakar dan ratusan tenaga pendidikan menjadi korban oleh orang tidak dikenal sebagai dampak konflik politik yang berlarut.

Dimana kondisi jumlah sekolah yang terdata setelah kejadian bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam per tanggal 8 Febuari 2005 adalah sejumlah 961 mengalami kerusakan dengan skala kerusakan terbagi dalam tiga jenis yaitu :

1. Rusak berat

2. Rusak sedang

3. Rusak ringan


Dengan semangat rehabilitasi dan rekonstruksi yang mendasarkan dan sebagai wadah serta pijakan dalam melaksanakan program kerja dibumi serami Indonesia dan Nias yakni dengan lahirnya sebuah badan tim khusus yang bernama BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi) Aceh – Nias, maka berbagai stakeholder dan semua komponen yang berkepentingan memainkan peranannya dalam kontek pembangunan Aceh-Nias. Demikian juga yang terjadi pada sector pendidikan muncul berbagai konsep yang ditawarkan dan dibangun, baik itu yang dilakukan oleh NGO (Non Government Organisation) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)yang ada.

Akan tetapi dengan adanya berbagai macam konsep dan peluang yang ada, terutama pada sector pendidikan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik dan dibarengi dengan rendahnya komitmen masyarakat dalam pendidikan anak yang tercermin dari kecilnya kontribusi orang tua terhadap pembiayaan. Rendahnya komitmen ini juga terlihat pada perintah daerah dalam dunia pendidikan. Dari fenomena yang muncul maka dapat diidentifikasi bahwa permasalahan dunia pendidikan di Aceh adalah sebagai berikut :

1. Masalah Keterlambatan

Keterlambatan yang dimaksudkan adalah keterlambatan dalam implementasi program pemulihan yang tercermin dari jumlah sekolah yang dibangun sangat terbatas, Hal ini bersumber pada kesulitan dari penyediaan lahan, akses transportasi dan keterlambatan pada sector-sektor terkait.

2. Masalah Penyimpanan

Penyimpangn dalam hal ini adalah dalam hal pemberian bantuan, kondisi ini tergambar dengan adanya kualitas bangunan sekolah yang dapat membahayakan siswa, penyimpangan ini juga terjadi sampai pada penyimpangan akidah dalam pendidikan anak dibarak-barak pengungsian dan rumah bantuan yang ada.

3. Masalah Penumpukan Bantuan

Terjadinya penumpukan bantuan terjadi diwilayah-wilayah tertentu, sehingga banyak wilayah yang tidak dapat tersentuh bantua, hal ini terjadi karena adanya akses yang sulit dijangkau dan tidak cukup menarik donor untuk memberikan bantuannya, misalkan di daerah Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Jaya , Pulau Aceh dan Simeulue

4. Masalah Koordinasi dan Komunikasi

Masalah berikutnya adalah koordinasi dan komunikasi yang masih belum dapat terjalin dengan baik, walaupun usaha koordinasi telah dilakukan diberbagai lini dan sector, akan tetapi tetap saja banyak pilihan yang bergerak sendiri-sendiri dalam rehalibilitasi dan rekonstruksi . Dimana pada akhirnya melahirkan overlopping dan penumpukan bantuan serta adanya berbagai penyimpangan.

5. Masalah Pembangunan

Kecenderungan yang dilaksanakan disini adalah terjadinya penekanan pada pembangunan fisik saja, akan tetapi tidak terlihat aspek atau sisi kualitas yang mencakup kelembagan pendidikan dan komponen pendidikan (guru, siswa bahan ajar, kurikulum dan dana ). Padahal aspek perbaikan kualitas sangat diprioritaskan, hal ini dilakukan kaitannya untuk sekolah dalam system kurikulum dan evaluasi hasil yang bersifat nasional.

Kajian Teori

Dari permalahan dan fenomena yang terdapat pada uraian diata, maka penulis mencoba menarik benang merahnya bahwa peluang besar yang dimiliki oleh provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat besar dalam memajukan daerahnya dengan memasukannya dalam kelompok dalam kategori industri jasa dan perdagangan yang berlandaskan pada sektor pendidikan yang handal. Hal ini disebabkan karena kata kunci keberhasilan dari penguatan ekonomi masyrakat dalam dunia industri adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan yang melibatkan seluruh stakeholder kunci, baik dalam pembuatan agenda penguatan maupun dalam berbagai tugas dan sumber daya pada pelaksanaan program. Proses perencanaan program yang melibatkan pertisipasi semua stakeholder kunci yang ada, menjadi penting agar agenda program benar-benar realistis dan dapat diterima oleh lapisan masyarakat dan stakeholder sehingga dalam pelaksanaan mereka bukan hanya mendukungtetepi juga memberikan kontribusi pada berbagai kegiatan, yang pada gilirannya sangat menentukan tingkat kebrhasiln program pembangunan.

2. Perencanaan bersam yang dimuati oleh pendekatan yang bercirikan market-driven(meminjan istilah ekonomi) yakni fokusnya pada upaya mempertemukan sisi penawaran (pelaku dunia pendidikan) dengan permintaan ( kalangan industri).Inclusive yang mencakaup seluruh aspek dunia pendidikan dan lembaga pendukung, collaborative yakni selalu menekankan solusi kolaboratif pada isiu-isu bersama dari seluruh stakeholder (swasta, lembaga swdaya masyarakat) dan lapisan masyarakat. Bersifat strategic yang membantu stakeholder menciptakan visi stategis bersama menyangkut dunia pembangunan daerah yang dilanadari oleh tingkat pendidikan masyarakat yang tangguh serta Value-creating yakni danya usaha untuk menciptakan hal baru melalui dunia pendidikan

3. Dalam pemanfaatan sumber daya khususunya, skema sharing (resource-risk and benafir – sharing) dan proses partisipatif merupakan kerangka landasan kerja yang disepakati dengan mitra kerja dan stakeholder pengembanagan model bisnis dalam membangaun sustainability prakarsa.

BAB III

PEMBAHASAN PERMASALAHAN

Analisa

Banyaknya sorotan mata dunia terhadap Aceh, membawa konsekwensi logis masuknya berbagai bantuan yang beraneka ragam jenisnya, termasuk didalammnya disektor pendidikan. Dimana setiap Negara donor menawarkan berbagai corak dan karateristik pendidikan yang beraneka ragam pula, akan tetapi masih perlunya koordinasi dalam pencapaian usaha dan tujuan dari pelaksanan program. Sehingga masyarakat dengan segala kemajemukannya saat ini selalu dihadapkan kepada bnyak pilihan. Oleh sebab itu masyarakat dituntut untuk bias merumuskan peran dan aksinya guna menyongsong masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Upaya menyongsong masa depan agar lebih baik dari masa sekarang hanya dapat di tempuh dengan melalui pendidikan. Dengan demikian pendidikan merupakan proses untuk mmepersiapkan diri menghadapi situasi baru guna menemukan eksitensi diri secara cepat dan tepat.

Dengan demikian maka membawa dampak pada banyak masayarakat menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat untuk menggantungkan nasib hidup ke depan, sehingga banyak sekolah dipuja tanpa ada beban sedikitpun. Padahal banyak sekolah uang menerapkan system pendidikan tidak membumi, tetapi hannya berpikir, menganalisis dan berdiskusi. Pola pendidikan ini harus dikritisi, karena selam 30 tahun lebih tidak ada lain karena tidak ada lagi guru, yang ada penatar, instruktur atau pawang, sehingga pendidikan tenggelam dalam power system. Akhirnya manusia yang dihasilkan oleh sekolah bukan lagi manusia merdeka yang peduli terhadap reliatas social.

Perubahan social dewasa ini berlangsung secara cepat, dari perubahan tersebut menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan social dalam masyasrakat, oleh sebabitu semua pihak harus berupaya mengeliminir dan meminimalisir ketimpangan social tersebut melaui program-program yang berbasis sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Proses dari pelaksanan yang dijalankan dengan adanya percepatan yang didukung dari berbagai sumber, hal ini membwa dampak bahwa pembangunan yang dilaksanakan seolah hanya mengejar sebuah target besar yang hendak diraihnya. Mengingat bahwa pendidikan sebagai hak azazi setiap individu anak bangsa telah diakui dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan. Sedangkan ayat (3) menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undan-undang.

Alternatif dan Solusi Masalah Pendidikan

Berdasarkan fenomena yng tergambarkan diatas, maka penulis memberikan alternative solusi pemecahan dalam bidang pembangunan ksusunya disektor pendidikan adalah sebagai berikut :

  1. Pengembangan sistem pendidikan dan memantapkan pelaksanaannya dalam semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan termasuk pendidikan keluarga dan masyarakat;
  2. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha (dicantumkan dalam perda/qonun) dalam pendidikan dan membina hubungan yang erat antara pendidikan formal dengan pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat termasuk revitalisasi keluarga sebagai lembaga pendidikan informal;
  3. Pelaksanaan revitalisasi lembaga pengelola pendidikan termasuk dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
  4. Penyediaan anggaran pendidikan yang memadai dan berkelanjutan;
  5. Pelaksanaan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan sebagai hak asasi, investasi, dan aset kepada seluruh kelompok masyarakat serta pelaksanaan advokasi bagi pengambil keputusan untuk memberi perhatian besar pada pembangunan pendidikan;
  6. Peningkatan pemberdayaan masyarakat agar dapat secara aktif berperan dalam membangun pendidikan di wilayahnya secara berkualitas dan berkesinambungan;
  7. Penataan dan peningkatan kinerja penyelenggaraan pendidikan termasuk penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi yang berkesinambungan; dan

8 . Pelaksaan penilaian, monitoring dan evaluasi secara berkelanjut

Dengan dasar pemikiran diatas, maka diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi penulis bagi perkembangan dan kemajuan Aceh dibidang pendidikan sebagaimana yang diamatkan dalam pembukaaan UUD 1945 ditengah-tengah suasana Aceh yang masih diwarnai kondisi carut marut, Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam di bawah kendali Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dan melalui langkah-langkah yang tepat dan strategis, diharapkan sektor pendidikan dapat menjawab berbagai permasalahan dan tuntutan pembangunan wilayah Aceh di masa mendatang, serta dapat mendorong lahirnya pribadi yang beriman dan bertakwa. Lebih jauh upaya peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan kepada masyarakat tersebut, sangat sejalan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan demikian, melalui grand design pembangunan pendidikan yang konsisten, Aceh yang sempat terpuruk di seluruh sektor kehidupannya akibat konflik berkepanjangan dan dilanda musibah gempa serta tsunami, dapat bangkit dan mampu menyongsong masa depan yang lebih baik.



BAB IV

PENUTUP

Penulisan tugas mata kuliah Pengembangan Sumber Daya ( SDA,SDM, SDB Bidang Pendidikan ) dengan tema Permasalahan Dunia Pendidikan Di Provinsi Nanggroe aceh Darussalam Dan Alternatif Solusinya Pasca MOU Helsinsi Unuk Mewujudkan SDM Berkualitas ” adalah merupakan sebuah usaha yang memberikan informasi betapa pentingnya penyelesaian permasalahan pendidikan sehingga akan diperoleh sumber daya manusia yang berkualitas yang merupakannsuatu aset bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Tulisan atau informasi yang telah disajikan penulis diatas merupakan suatu paparan yang sangat singkat dan jauh dari kesempurnaan mengingat dari keterbatasan yang ada. Maka dengan rendah hati penuis berharap pembimbing dan pembaca yang budiman untuk kiranga dapat memberiakan masukan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnan tulisan ini. Terima kasih

Daftar Pustaka

Balai Pustaka, Undang-Undang 1945, Balai Pustaka Jakarta, 1994

Dinas Pendidikan Prov. NAD tertanggal 18 Febuari 2005

i Hafas Furqani, Aceh dan Kesadaran Sejarah, Aceh Institute, 2005

Paule Freire, Sekolah Kapitalisme yang licik, LP3S, 1998

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 Tentang Sarana dan Prasarana Pendidikan

Qonun No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Di Prov. NAD

Surat Edaran No. 380/G.06/MN/2003 Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional tangal 20 Januari 2003 Tentang Pendidikan Inskusi

www. proyeksi.com

www.acehinstitute.org